Terpendam

Terpendam


    Ayah begitu polos. Ia manusia paling jujur yang pernah ku kenal. Entah mengapa, aku bisa menyimpulkan kepribadian yang begitu lekat dengan sosok ayah itu lewat petualangan yang pernah ia lakukan di sebuah pulau terpencil bersama kelima teman kantornya. Rencana petualangan itu telah mereka susun sejak setahun lalu dan baru direalisasikan beberapa minggu yang lalu. Seolah tak ingin menyimpan kisah petualangannya sendirian, ayah berantusias menceritakan seluruh kegiatannya yang menguras seluruh tenaga dan lembar demi lembar kertas di dompetnya padaku tanpa mempedulikan rasa lelah yang dialaminya kala itu. Bisakah kalian membayangkan bagaimana gaya dan cara ayah bercerita dengan begitu antusias walaupun noda lumpur di wajahnya masih begitu lekat dan tidak terlebih dulu menyempatkan diri untuk bersih-bersih ? Semoga kalian bisa membayangkan bagaimana kusutnya penampilan ayah.


  “Dion, kamu harus dengar kisah petualangan ayah ini baik-baik…” Ayah memintaku untuk mendengarkannya. Kali ini, aku melimpahkan seluruh tugas mendengarkan pada kedua telingaku. Sembari menyandarkan bantal pada kedua paha dan termangu, ayah mulai bercerita. Kedua bibirnya mulai terbuka, matanya tampak berbinar-binar, betul menunjukkan betapa bangganya ia yang telah berhasil melaksanakan rencana gede-gedean yang dirancangnya sejak lama. Dan kini, aku hanya bisa menjadi pendengar. Lagi-lagi menjadi pendengar setia. Bedanya, kali ini, menit ini bahkan detik ini, ayah yang mau bercerita, bukan teman-temanku yang selalu setia buka suara mengenai masalah percintaan yang mereka alami.

     “Ayah dan teman-teman mengubah seluruh rencana yang kami rancang semula…” ucap ayah dengan santai sembari memandang ke arah jendela kamarku yang masih setengah terbuka. “Kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah pulau yang jauh lebih terpencil dan tidak tersentuh manusia manapun. Pulau itu penuh dengan pohon pinus dan kelapa. Disana juga banyak semak belukar dan binatang-binatang liar semacam ular dan macan…” sekarang, aku tak mampu lagi membungkam mulutku sendiri. Ada keterkejutan yang lebih. Mendengar kata “Macan”, “Ular” dan “Pulau yang jauh lebih terpencil” saja pemikiranku sudah melayang kemana-mana membayangkan betapa liarnya alam di pulau itu, bagaimana aroma pasir berwarna cokelat muda yang melintang dari timur ke barat, kemilau mentari yang kembali bernaung di peraduannya dan betapa anggunnya rembulan yang berdampingan dengan bintang-bintang di suramnya malam.

       “Selama petualangan itu, ayah berusaha tidak memanfaatkan kompor untuk memasak mie instan. Tidak seperti teman-teman ayah yang lain, yang begitu antusias ketika waktu makan tiba dan mereka cepat-cepat memasak 10 bungkus mie sekaligus. Pada dasarnya, petualangan adalah petualangan. Ayah memaknai petualangan ini sebagai langkah memanfaatkan alam. Maka dari itu, ayah mempergunakan alam sebaik mungkin. Setiap pagi, ayah mencari buah-buahan yang bisa dimakan meskipun ada sebentuk ketakutan yang selalu membayangi ayah. Kamu tau dan mendengar sendiri kan kalau di pulau itu banyak ular dan macan. Ya, itulah ketakutan ayah…”

        “Lalu ?” tanyaku penasaran, memacu ayah untuk lebih detail dalam bercerita.

      “Ayah mencoba untuk membuang ketakutan itu. Bagaimanapun caranya, ayah harus dapat buah untuk dimakan. Apapun bentuknya. Ayah harus bisa makan tanpa harus memasak…” mendengarnya lebih lanjut, aku hanya bisa mengagumi keputusan ayah untuk tidak menikmati mie instan untuk mengisi perutnya yang agak buncit. Benar juga, petualangan adalah petualangan. Keputusan ayah untuk tidak memanfaatkan kompor yang ia bawa adalah tantangan yang bisa saja membawanya pada seringai macan yang mendadak mendatanginya ketika mengambil buah-buah yang bisa dimakan.

     “Sampai pada hari terakhir…” mataku membiaskan keinginan yang kuat untuk mengetahui lebih lanjut cerita yang kini kian menuju klimaksnya.

      “Ayah menemukan sesuatu yang tidak terduga…” Mata ayah berbinar, air mukanya berubah cerah. Ada rasa bangga di matanya.

      “Yang tak terduga ? Sesuatu apa yah ?” tanyaku yang tampak sangat penasaran.

    “Ayah menemukan sebuah peti besar di salah satu bagian hutan yang banyak pohon pinusnya. Peti itu berwarna cokelat tua dan terlihat kusam….” Mendengar kata “peti” saja, aku sudah memiliki dua pendapat berbeda mengenai isi dari benda besar tersebut. Di satu sisi, aku berpikir bahwa isi dari peti itu adalah tulang-tulang manusia yang mati ketika terdampar di pulau yang ayah sambangi. Di sisi yang lainnya lagi, terbersit dalam benakku bahwa beberapa benda berharga tersimpan di dalam peti besar itu adalah kepingan emas, berlian, guci bermotif klasik, bahkan kalung dan cincin yang pernah dikenakan seorang raja di masa lalu. “Ayah mencoba untuk mendekatinya… perlahan namun pasti, mata ayah tak dapat melepas pandangan dari benda yang punya berat lebih dari 50 kg itu…” aku terus menggambarkan ekspresi bahagia yang ditunjukkan ayah ketika ia menemukan benda besar itu dan mengamatinya lekat tanpa mempedulikan berapa banyak macam dan ular yang membayanginya dari arah belakang. Terus menerus aku memutar otak, membayangkan betapa bangganya ayah yang telah melakukan sebuah perjalanan panjang ke sebuah pulau terpencil dan dalam perjalanan itu, sebuah hadiah sedang menantinya tanpa disengaja, tanpa tanda maupun kata.

    “Sampailah ayah di depan peti itu…” Ada sesuatu yang begitu menarikku untuk lebih detail mendengarkan, entah apa, ada sesuatu yang menuntunku untuk mencari jawaban atas isi dari peti tersebut. Semakin mendekati klimaks dari cerita tersebut, ayah makin memperlambat ucapannya, seolah aspek dramatisasi begitu ingin ditegakkannya untuk memacu keingintahuanku akan pengalaman terbaik yang pernah ada dalam hidupnya.

       “Ayah begitu dekat… sangat dekat. Ayah mampu lebih detail melihat seperti apa bentuk peti itu, peti yang terbuat dari kayu cendana dengan tiap seratnya yang melintang rapi…” aku semakin bisa melukiskannya. Ada sesuatu yang mendorongku ingin tahu, entah apa. Sesuatu yang halus dalam lubuk hatiku, begitu tulus terpancar dari keikhlasan telingaku mendengarkannya dengan seksama.

       “Tanpa ragu, tangan ayah menyentuhnya. Peti itu begitu halus…” aku tak ingin lebih lama lagi menunggu. Aku ingin lebih cepat tahu dan menuntaskan cerita ini. Ada sesuatu yang mendorongku. Suatu roh atau sejenisnya, atau malah perasaanku saja, ya. Entah. Batinku menunggu-nunggu klimaks dari cerita ayah ini. Seberapa lama pun cerita ini akan berlanjut, aku akan tetap duduk di tempat, bernapas secukupnya dan membungkam mulutku lebih serius hanya untuk sekedar menyimak lebih detail cerita berharga yang muncul dari mulut ayah sendiri. Lagi dan lagi, sesuatu yang tak bisa kunamai itu terus menarikku ingin tahu. Lebih ingin tahu. Dari detik ke detik. Dari tiap bagian cerita yang dikisahkan ayah.

       “Ayah tidak bisa menahan diri. Akhirnya, ayah memutuskan untuk membuka peti tersebut perlahan-lahan sembari melihat ke arah sekitar, siapa tahu salah seorang teman ayah ada yang berada di tempat yang sama…” ini klimaksnya… ini klimaksnya, sebentar lagi, dion! Sebentar lagi dion! Sesuatu yang tak bisa kunamai itu berbicara padaku. Apa sesuatu yang tak bisa kunamai itu punya struktur yang nyata. Lalu ada hubungan apa antara sesuatu yang tak dapat kunamai itu dan peti ? adakah benang merah antara sesuatu yang tak bernama itu dan peti tersebut ? adakah relasi terdalam diantaranya ? aku masih merasa bingung. Ataukah aku adalah manusia yang tidak peka, ya ? Sementara ayah terdiam sejenak, terpaku dihadapanku, aku mencoba mengait-ngaitkan sesuatu, merangkai dan mengingat seluruh penemuan ayah ini dengan seluruh pengalaman menarik yang pernah kulewati.

     “Ketika membukanya ayah menemukan sesuatu…” Aku masih terdiam di tempat. Sesuatu yang tak bernama itu terus menekanku untuk lebih tahu. Kini, ia sudah meronta-ronta ingin tahu.

      “Ayah menemukan tumpukan kepingan emas…” Aku terkesiap ketika mendengarnya. Aku tak punya alasan untuk membuka bungkamanku sendiri kecuali merasakan betapa bangga dan beruntungnya ayah ketika menemukan tumpukan kepingan emas yang berkilau tertimpa kemilau mentari yang menyorot dari ufuk timur. “Sekali lagi, tanpa ragu, ayah merogoh beberapa bagian dari tumpukan kepingan itu dan melihatnya lebih dekat. Ternyata, kepingan itu benar-benar dibuat dari emas. Ayah benar-benar kagum…” Kini, aku semakin bisa melukiskan kekaguman ayah yang melihat untuk pertama kalinya tumpukan emas, yang bukan hanya ia lihat dari televisi, namun menggunakan mata telanjang. Matanya sendiri, kedua mata pemberian Tuhan.

      “Lalu, ayah membawa sebagian dari kepingan emas itu ?” ayah menggelengkan kepala mendengarkan pertanyaan itu. Sejenak, ada kekecewaan di mataku. Ada pertanyaan yang menggelayutiku, mempertanyakan keputusan ayah untuk menahan diri dan enggan mengambil kepingan emas itu, padahal tidak ada seorangpun yang mengambilnya.

    “Ayah tidak tahu siapa pemiliknya. Yang pasti, harta karun itu ada pemiliknya. Ayah tidak ingin mengganggu pemilik dari harta karun itu. Ayah tidak ingin jadi pencuri. Ayah mau hidup jujur. Walaupun kepingan emas itu berharga, ayah tahu diri, ayah bukan pemiliknya. Maka dari itu, ayah hanya bisa menatapnya saja, merasakan betapa berharganya ketika bisa memiliki benda semewah itu tanpa harus memilikinya, karena ayah bukan pemilik. Ayah hanya bisa menjadi orang yang bisa menikmati keindahannya saja, bukan menjadi pemilik. Biarlah kepingan itu bertahan dalam peti. Kalaupun ayah hanya bisa menjadi penikmatnya, itu sudah menjadi sebentuk kebahagiaan yang tersimpan dalam memori…”

       Ayah membuka alasan terbesarnya. Sesuatu yang tak bernama itu telah mendapat jawabannya. Aku tahu ia merasa amat puas. Akupun mendapat kepuasan tersendiri karena telah berhasil merangkaikan seluruh cerita ayah dengan satu pengalaman yang takkan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Refleksi tentang begitu hebatnya cinta. Refleksi mengenai keindahan cinta pertama. Betapa polosnya seorang manusia ketika pertama kali mengalami jatuh hati. Manusia yang mengalami pengalaman jatuh hati itu bernama Dion. Itulah aku. Aku yang berhasil menemukan pengalaman yang sama persis dengan ayah, pengalaman menemukan sebuah peti berisi kepingan emas di sebuah pulau terpencil dan pada akhirnya berujung pada penyelesaian yang sama yakni tak ingin mengganggu pemilik dari harta karun tersebut. Aku memilih menjadi penikmat saja. Penikmat keindahannya. Penikmat yang memiliki upaya untuk memendam sesuatu.


            …Waktu merambat dinding-dinding masa, aku terpaksa menamai sesuatu yang tak bernama itu…



Komentar

  1. "Aku memilih menjadi penikmat saja. Penikmat keindahannya. Penikmat yang memiliki upaya untuk memendam sesuatu"- Keren abis :')

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya :) All about the voice of soul :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)