Pulang



Terima kasih. Dua kata itulah yang muncul setelah balon terakhirmu terbang tinggi. Dua kata itu terucap dengan lirih, tanpa suatu beban yang tersembunyi. Batu-batu dalam sendimu seolah mati. Badanmu, jiwamu, matamu, duniamu, tengah ada disini. Di antara rerumputan dan pepohonan yang berdiri teratur mengelilingi kita. Di kolong langit, yang terkadang terik, namun terkadang pula, begitu teduh.
“Kamu selalu menjadi orang yang paling mengerti, Tantra”
Suaramu bergetar bersama rangkulan udara.
“Berusaha untuk mengerti dan memahamimu bukan keinginanku, May. Lebih dari seluruh keinginanku, aku mau untuk memahamimu...” kataku tak pernah panjang lebar. Kamu tahu bagaimanakah aku dan seluruh kemauanku untuk berada di tempat ini, saat ini, bersama seluruh harapan yang hidup pada waktu ini.
“Termasuk kekanak-kanakanku?”
“Apapun itu. Asal berada pada tahap yang wajar. Tidak semua orang suka balon. Dan balon bukan hanya diperuntukkan bagi anak-anak...” tanggapanku ditanggapimu dengan senyuman tak biasa.
“Tantra. Kamu adalah manusia ajaib yang pernah kukenal hampir tiga bulan ini. Kamu adalah orang tergila yang bisa memahami orang yang mau mati, entah besok, seminggu lagi, bulan depan atau tahun depan.”
“Kalau orang banyak bertanya bagaimanakah tips memahami orang yang mau mati, memahami orang, itulah caranya. Ya, memahami orang yang akan tertimpa kebahagiaan kekal.”
Tangannya menyentuh pahaku.
“Sepertinya, aku akan menjadi orang yang selalu memilih kamu untuk melakukan hal-hal gila”
Kini, wajah kita saling bertemu. Dan ruang ini hanya milik kita,Maya.
“Kamu gila. Saya gila. Kita, impas. Dan aku, tetap betah untuk memahami kamu”
Menjadi orang gila adalah keputusan kita, May.
“Tantra...” suara lirih yang kudengar detik ini adalah sebentuk pertanda tak biasa. Ya, sepertinya kamu ingin berada pada titik pembahasan yang lain.
“Kamu harus kembali.”
Ucapanmu menegunkanku.
“Rumahku disini...”
“Ibu kamu sakit.” nada bicara perempuan yang satu ini...
“dan kamu akan mati, May” nada bicaraku mulai berbeda mengikutinya.
“Jangan jadikan aku alasan...”
“Tapi kamu adalah sebuah alasan...”
“Jangan jadikan aku pusat pemahamanmu yang membuat kamu buta” Maya menepuk bahuku dengan kuat, lalu menatap mataku tanpa sebuah keraguan, dengan sebuah harapan tak biasa yakni kembalinya aku pada rumahku yang dahulu. “Kamu harus belajar memahami orang lain, selain aku.”
“May, andaikan ada permintaan lain”
“Sebut permintaan ini sebagai permintaan yang tidak kekanak-kanakan” Maya tak pernah lepas menatapku. Ia makin menatapku sungguh-sungguh.
“Tapi, aku nggak bisa...”
“Kali ini, kamu harus bisa. Anggap permintaan ini sebagai bahan pemahamanmu tentang aku...” bola matanya berbinar penuh harap.
“May, kamu gila.”
“Kamu gila dan itu kesepakatan kita.” Maya menganggapi dengan senyuman nakal.
“Tapi...” tenggorokanku mulai tercekat
“Pulang, Tantra. Ibu kamu sakit.” Nada memohonmu, May...
“Memahamimu adalah tantangan”
“Satu prinsip kita. Satu prinsip menyambut detik-detik terakhir hidupku.”
“Sepertinya, aku tahu, May.” Dan akulah satu dari sekian yang bisa mengerti, May.
“Ya. Kita sama-sama tahu. Aku gila, kamu gila, kita sama-sama gila”

Senin, 25 juli 2016.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)