Ada


Ada

“I
ni salahku…” ucapmu dengan wajah muram ketika mendapatiku terbaring di tempat tidur tak berdaya berteman selimut berpola kotak-kotak merah-kuning yang biasa kupakai untuk menghalau dinginnya malam. Setelah beberapa detik berdiri dan menghukum diri sendiri dengan rasa bersalah itu, kamu memutuskan untuk duduk di sampingku tanpa melakukan apapun. Kamu hanya diam dan mungkin saja terus-terusan menghukum diri sendiri karena telah mengajakku jogging
di tengah rintik-rintik hujan yang beberapa menit lalu mengurungkan diri untuk membasahi bumi.

“Bukan salahmu. Aku yang antusias untuk jogging…” balasku seadanya ketika kamu masih saja merenungi kesalahan yang seharusnya tak perlu disesali. Air mukamu yang tampak tersamar di mataku, memberi pertanda bahwa kamu tampak begitu menyesal dengan tawaranmu yang sebenarnya baik untukku. Lama kamu diam, sorot matamu masih mengarahkan pandangan padaku, memancarkan sebuah penyesalan yang sungguh-sungguh. Sesekali, untuk mengurangi penyesalan itu, bola matamu bergerak lebih cepat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore. Kamu mencoba membenamkan rasa bersalahmu. Sayangnya, kamu tidak sukses menutup-nutupinya dari padaku, karena aku tahu siapa kamu. Aku tahu bagaimana karaktermu, bagaimana keadaanmu hari-hari belakangan dan betapa relanya dirimu ketika harus menyediakan telingamu untukku. Telingamu yang kupinjam sebagai saluran sebuah cerita panjang tentang kehidupanku yang baru.

Sore ini, kamu jadi tangan kananku. Kamu merelakan tanganmu kupinjam untuk mengambilkanku beberapa benda di loker. Ketika kamu kuminta untuk mengambilkan kain untuk mengompres dahiku, tanganmu senantiasa berjalan ke arah yang tepat tanpa banyak kata. Kamu begitu rela. Ketika aku membutuhkan obat untuk mengurangi rasa pening di kepala, kamu rela mengambilkanku obat di tempat yang sama. Kamu benar-benar rela. Setelah berkutat dengan kerelaanmu, kamu kembali berdiam di hadapanku tanpa banyak kata. Hening menyelimuti keadaan di sekitar kita.

“Kenapa aku malah jadi jatuh sakit begini ?” Ketika aku mulai menyesali keadaan itu dengan ucapan-ucapan ngelantur, kamu tetap saja diam. Kamus Bahasa Indonesia di dalam otakmu seolah tak memiliki perbendaharaan kata yang pas untuk memberiku jawaban mengapa aku bisa jatuh “sejatuh” ini, pengalaman terjatuh yang semula tak pernah kualami. Kamu seolah menjadi patung. Kamu tidak ingin merespon dengan ucapan apapun mengenai tiap kata yang semula terlontar dari mulutku di tengah heningnya sore. Aku menghargai keputusanmu untuk tetap diam dan memperhatikanku, walau rasa bersalah masih begitu membayangimu karena keadaanku yang tak menentu, kadang begitu lemah, kadang tampak begitu sehat dan bersemangat. Aku menghargai keputusanmu untuk tetap duduk di sampingku.

“Kenapa kamu ada disini?” tanyaku lagi dengan cukup polos, terbaca dari begitu sederhananya aku mencari makna kehadiranmu di sampingku. Sesaat, ketika mendengarkan pertanyaan ini, kamu diam. Sepertinya kamu sungguh-sungguh akan selalu diam di hadapanku. Entah pendapat ini benar atau salah, aku tidak berani taruhan karena pertanyaan ini benar-benar sederhana dan aku yakin bahwa kali ini Kamus Bahasa Indonesia dalam otakmu pasti telah menyiapkan jawaban yang singkat, padat dan jelas. Aku merasa kamu butuh waktu untuk memaknai kehadiranmu sendiri di sampingku dan aku tetap menunggu jawaban yang berasal dari mulutmu sendiri mengapa kamu rela berdiam di sampingku, menjadi telinga yang rela kupinjam untuk kuajak mendengar seluruh dongeng mengenai kehidupanku yang baru, yang sarat akan tantangan atau menjadi tangan kananku yang rela menyediakan beberapa detik untuk mengambilkanku beberapa barang dalam loker. Dan lagi-lagi, itulah kerelaanmu. Ketulusanmu.

“Karena aku adalah temanmu…” Lelah menjadi patung di hadapanku, kamu angkat suara. Akhirnya kamu mau bicara juga. Pendapatku seratus persen salah. Ternyata kamu masih memiliki suara. Jawaban itu keluar dari mulutmu sendiri. Aku mengetahui bahwa kamu berada dalam keadaan sadar ketika melontarkan empat macam kata yang baru saja kudengar. Tak ada yang mau aku katakan lagi ketika kamu telah membuka mataku mengenai arti kehadiranmu di sampingku. Kata-katamu sederhana, tidak berlebihan, tidak membuatku mempertanyakan banyak hal lagi mengenai tujuanmu duduk di sampingku dan beberapa saat memilih untuk diam dan menyesali tawaranmu ketika mengajakku jogging. Aku berharap, kamu tak lagi merasa bersalah dan aku tidak akan mempermasalahkan hal itu karena pada kenyataannya aku memang sudah merasa tidak enak badan sejak lama.

“Mau aku panggilkan suster?” Lagi, kamu bicara. Untuk pertama kalinya kamu bertanya padaku setelah lama kamu mematung dan sekali memberi jawaban sederhana seperti mauku. Kali ini, kamu menawariku sebuah bantuan yang menarik dan aku menghargai itu, menghargai niatanmu yang sungguh baik. Tanpa banyak kata, aku mengangguk singkat. Tanpa banyak bicara, kamu langsung meninggalkanku sendirian di dalam kamar dan bergegas memanggil suster yang sedang berada di mess. Sunyi menggelayutiku lebih lanjut, seolah-olah tak pernah mau pergi. Kala itu udara berbisik lebih halus, tidak ada suara yang terdengar jauh dari daun telingaku. Semuanya terasa begitu dekat, sedekat kerelaanmu untuk duduk berdiam di dekatku, tanpa banyak kata, tanpa banyak tindakan. Terima kasih untuk menit dan detik yang kau tempuh demi seseorang yang hanya bisa menggigil kedinginan dengan suhu badan 39°C.

Dan lagi-lagi, itulah kerelaanmu. Ketulusanmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)