Melodi Setangkai Mawar (a short story)
(bara no melody...)
Setiap
malam minggu, aku selalu menyediakan waktu menjadi pendengar setiamu. Setiap
malam minggu, aku setia menikmati alunan melodi yang tercipta dari kesepuluh
jemarimu. Setiap malam minggu, mataku selalu terhibur dengan keindahan
bayanganmu di balik sebuah piano klasik berwarna hitam. Gaun hitam dengan
kolaborasi pernak-pernik di beberapa sisi, membuatmu tampak elegan, menjadi
juwita bagi puluhan pemandang.
Aku duduk di deretan ketiga. Aku
duduk dengan santai, menikmati susunan melodi yang terangkai rapi. Aku duduk
terdiam, tanpa suatu keinginan untuk bergumam. Aku terpaku sendiri, terpaku
menatapi. Aku tak ingin pergi, aku tak ingin melewatkan keindahan yang
terpatri. Kamulah asal keindahan itu, membuatku tersipu kaku.
Menit demi menit. Aku berjalan dalam
rangkulan menit. Menit membawaku lebih dekat padamu. Satu detikpun tak pernah
terlepas dari rangkulanku. Aku begitu nyaman dengan pemandangan yang membuatku
membisu hingga berakhirnya waktu.
Tak pernah terlupa, setelah
pertunjukan yang memukau itu, kamu tak pernah langsung pulang. Kamu selalu menyempatkan waktu untuk menumpuk
kumpulan bunga yang diberikan semua penonton padamu, termasuk setangkai mawar
yang datang daripadaku. Setangkai mawar itu tampak begitu sederhana. Tidak
pernah ada kemewahan diantaranya. Di kala kumpulan bunga berwarna merah muda
merajai lenganmu, hanya bunga mawar pemberiankulah yang terlihat menyala penuh
rona. Karena perbedaan dan keindahannya itulah, kamu bersedia menyita aroma
yang memikat daripadanya, membuat hadiah yang hadir daripadaku terasa begitu
sempurna. Aku beranjak dari pertunjukanmu dengan penuh suka.
...
Aku kembali menjadi pendengar
setiamu. Malam minggu kali ini adalah malam minggu ke-14 dimana aku berminat untuk
memandangi paras wajahmu. Aku tak pernah bosan duduk di deretan ketiga. Aku tak
pernah jenuh akan susunan melodi yang tercipta daripadamu. Aku tak pernah lelah
menjadi pemuja rahasiamu, pemuja yang selalu memandangimu dari bagian belakang,
tak berani menatap dari bagian depan. Memandangimu dari bagian belakang adalah
pilihan terbaik. Memandangimu dari bagian depan hanya membuatku geli, mana
mungkin bayanganku ini terbaca dan disadari.
Kamu adalah gadis yang pandai. Kamu
selalu pandai memanjakan telinga pendengarmu. Setiap malam minggu, kamu selalu
mengalunkan nada baru. Bila tiga minggu lalu, dentingan piano berpadu dengan
suaramu, pada malam-malam minggu belakangan ini, kamu menurunkan hasrat melalui
alunan piano. Kamu membiarkan tiap melodi dalam permainanmu membumbungkan
anganku. Angan yang terpatri , yang sebentar lagi akan mati.
Menit dan detik berada di sampingku.
Keduanya tidak pernah pergi. Semakin terasa kedekatan keduanya denganku,
semakin dekat pula puncak dari kelihaianmu memukau mataku. Seperti biasa, usai
mempekerjakan kesepuluh jemarimu, kamu menyempatkan diri untuk mengumpulkan
bingkisan bunga pemberian para pemujamu. Di antara puluhan buah buket bunga
yang tampak begitu mewah, bunga pemberiankulah yang tampak begitu sederhana dan
apa adanya. Namun karena kesederhanaan dan prinsip apa adanya itulah, kamu
berminat untuk menghisap aroma dari setangkai mawar tersebut. Karena
kesediaanmu itulah, aku menjadi lelaki paling bahagia. Aku bangga menjadi
bayangan yang hadir sekelebat, pergi secepat kilat. Aku bangga menjadi lelaki
yang hobi bersembunyi, lelaki yang selalu berlari dari suatu angan yang
menyimpan ribuan arti. Karena terlalu mengidolakan kebiasaan untuk berlari
daripadamu, aku menjadi terbiasa melihat seorang laki-laki menyentuh rona pipimu
dengan kedua bagian bibirnya. Karena terlalu mengidolakan kebiasaan untuk
berlari dari hadapanmu, aku berusaha menyentuhmu dari deretan kursi ketiga,
dimana setiap malamnya aku giat mengungkapkan tanpa kata.
©
“Kalau malam ini, aku nggak bisa.
Tolong cari hari lain saja…” kataku tegas, tidak mengiyakan permintaan Sendy
untuk membicarakan suatu hal mengenai tugas yang diberikan Mr. Smith beberapa
minggu lalu pada hari yang telah kukeramatkan. Malam Minggu. Aku tak bisa bila harus menukar penampilanmu
yang hanya datang seminggu sekali dengan kewajibanku. Selepas menentukan hari
lain untuk menuntaskan seluruh kewajiban, aku memutuskan utnuk datang kembali,
menemui keelokanmu.
Malam minggu kali ini adalah malam
minggu kedua puluh dimana aku masih tetap setia menantikan permainan yang
tersaji daripadamu bagiku dan ratusan pemujamu yang kian bertambah tiap
minggunya. Kala aku tiba di Luxury Café, tepat pukul delapan malam,kamu sudah
siap terduduk di hadapan benda kesayanganmu. Usai membeli tiket, aku kembali
duduk di deretan ketiga. Aku tidak ingin berpindah ke deretan lain.
Memandangimu dari deretan ketiga
adalah kebutuhan yang kumau, bukan memandangimu dari dekat, yang hanya akan
membuatku terbelenggu oleh lekat. Lima belas menit berlalu ketika waktu terduduk
di tempat yang tepat, denting itu terdengar tipis. Lembut dan sehalus sebuah
trik jitu yang membawaku pada suatu keinginan yang keliru. Bersembunyi
daripadamu.
Notasi demi notasi bergerak dan
memenuhi gendang telingaku. Permainanmu terdengar sempurna. Aku terpana, ribuan
kata tersumbat oleh rasa yang tak jua teraba. Aku merasa puas menjadi seorang
pemuja, yang dari minggu ke minggu kian berpusat pada suatu kepenuhan yang
berasal dari tatap. Pandangan yang setiap minggunya tertampung pada setangkai mawar.
Dua jam sudah kamu terduduk di
tempat yang sama. Dua jam sudah kamu sibuk bermain dengan melodi-melodi yang
mengalir dalam darahku. Teramat hangatnya tiap notasi yang dimainkan olehmu
membuatku terbuai oleh rangkaian asa yang melebur dalam kabut ketidakmungkinan.
Asa ini membuatku gila, membuatku buta. Asa ini membuatku menautkan seluruh
rasa ini melalui setangkai mawar yang kembali dirangkul olehmu malam ini. Lagi
dan lagi, kamu sudi menghisap aroma bunga mawarku. Bunga mawar merah darah yang
tak jua berganti rupa. Ia tetap merah
©
Malam minggu kali ini adalah malam
minggu ketiga puluh. Terduduk kembali di deretan ketiga, aku kembali menyusun
fokus pandangan pada satu arah yang paling strategis. Pandangan yang tiga puluh
minggu tidak pernah berubah. Pandangan yang tetap sama. Aku tak pernah jenuh
menjadikanmu objek pemenuhan hasrat yang tak tersampaikan. Aku tak pernah letih
untuk bersembunyi selagi tindakan itu memang teramat menguntungkan bagiku.
Bersembunyi dan berlari, mengayun langkah untuk melukiskan segaris jarak yang
membuatku kesulitan untuk lebih dekat denganmu. Membuatku lebih sukar untuk
mencintaimu dari jarak yang lebih dekat.
Detik demi detik kulampaui bersama
manusia-manusia yang siap sedia mendengarkan permainanmu. Detik demi detik di tempat
yang sama, sayup-sayup kala keheningan tak merajai daerah sekitar, beberapa
manusia sibuk membicarakanmu. Mereka membicarakan suatu kenyataan yang sudah
kuketahui jauh-jauh hari. Mereka membicarakan pesta pertunanganmu dengan Eldron
Andreas, pemain violin terkenal yang beberapa minggu lalu menautkan dua lapis
bibirnya di pipimu. Mereka begitu melukiskan sebuah angan-angan yang membawa
suatu gambaran betapa bahagianya dirimu ketika bersanding dengan Eldron dan
betapa bangganya dirimu ketika mengenakan sebuah cincin perak bertuliskan
inisial lelaki tunanganmu itu. Melalui sumber-sumber terpercaya yang berhasil mencacah-cacah seluruh
pengharapan ini, aku pun semakin menyadari bahwa aku memang harus pergi sejauh
mungkin dari pandangan, yang dari minggu ke minggu makin giat menghancurkanku,
perlahan-lahan. Mematikanku dalam sekejap, membuatku merasa bahwa hati ini
terasa begitu sesak, begitu pengap. Di tengah kesesakan ini, aku siap menjadi
bayangan yang berkeliaran, mencari arah yang paling benar, menemukan suatu
kejujuran. Di tengah pencarian ini, kamu tak jua berhenti mengelabuhi.
Aku terus menerus menantikanmu
berhenti mengelabuhi. Aku membiarkan diri melunak dan mati. Aku ingin
memadamkan perasaan ini sekuat hati. Aku ingin berdiri, berlari dan berlari.
Aku tak ingin tertinggal sendiri di dalam sebuah labirin yang membuatku mencari
sebuah jalan yang semu dan tak pasti. Biarlah saja setangkai mawar biru menjadi
saksi suatu cinta yang berlandaskan keabadian, menuntaskan seluruh rasa ini,
rasa yang terbuai oleh rangkaian sepi, yang dari minggu ke minggu makin berdiri
sendiri tanpa arti.
…Sekali lagi, kamu bersedia
menghisap aroma bunga mawar biru itu. Rasa ini kuakhiri, biarlah menjadi
kenangan lalu.
Komentar
Posting Komentar