Sembunyi



             

             “Mau sampai kapan? Masih betah,ya?”
            Tanya itu meneguk setiap udara yang ada di sekitarnya. Tanya itu menyesakkan ruang dan jiwanya. Tiada jawaban yang begitu saja terlontar. Tantra membutuhkan izin dari Naira untuk mengungkapkan suatu jawaban secara lebih rasional. Ia butuh waktu.
            “Proses persembunyian ini menyiksa. Saya tidak tahu akan menjalaninya sampai kapan. Yang jelas, yang saya rasakan adalah kelelahan luar biasa..” akunya pada Naira.
            “Kalau lelah, selesaikan semuanya. Kamu nggak bisa mengurung diri dan perasaanmu dalam setiap puisi itu. Keluar dari sangkar, Tantra. Hanya itu jalannya” Naira memasang tatapan tajam pada lawan bicaranya. “Sebelum terlambat” ucapan itu terdengar penuh keyakinan, membuat Tantra bergegas memalingkan pandangan.
            “Hanya puisi-puisi itu, Nai”
          “Aku paham, Tantra. Tapi, kata-kata indahmu dalam puisi nggak akan sepenuhnya cukup untuk mengungkapkan segalanya. Kamu butuh aksi lebih” Penekanan setiap kata yang keluar dari mulut Naira amat diperhatikan oleh Tantra.
         “Akan saya usahakan, Nai. Entah kapan saya akan merealisasikannya, biar waktu yang menentukan. Izinkan saya menatapi dia dari arah sangkar saya. Itu cukup…”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)