Titik
Tatapan itu lekat.
“Bang Jack nyariin lo terus, May” ucap Tantra dengan nada cukup tegas, mencoba sekuat tenaga membuka jalan pikiran Maya.
“Ngapain
sih masih cari-cari gua? Gua kan udah bilang sama dia, gua mau keluar dari
klub. Titik!” setiap kata dari Maya tak kalah tegas. Tiap penekanannya benar
menunjukkan bahwa ia benar telah memutuskan keluar dari Infinity Club, klub designer yang diikutinya sejak tiga tahun
silam. “Habis ini nggak ada koma ya. Sekali titik tetap titik!” ucapnya kali
ini layak disebut penegasan dari ungkapan sebelumnya. Sempurna sudah.
“Kenapa
harus titik? Infinity Club butuh lo,
May. Impian lo butuh tubuh dan jiwa untuk mewujudkannya” sesaat itu pula tanya
itu berbuih bungkam. Maya terdiam. Ia tidak menanggapi penekanan-penekanan kata
yang ditelurkan oleh Tantra. Ia lebih memilih bungkam dan menyandarkan tubuhnya
pada tembok. Wajahnya tak sanggup lagi menampung rona ketenangan. Yang ada
hanyalah sebuah kekesalan.
“Kenapa
harus titik, sih?” tanya itu ditegaskan lagi oleh Tantra yang kali pergi dari
sofa tempatnya duduk dan berjalan mendekat ke arah Maya yang bergegas membuang
muka ketika sahabatnya itu terus menerus memasang tatapan tajam kepadanya.“May.. kenapa harus titik?” kini, Tantra betul berada di hadapannya.
“Ini adalah kali keempatnya gua tanya sama lo ya. Kenapa harus titik, May?” sorotan mata itu sungguh menghujam seluruh keteguhan Maya. Sorotan matanya, tanya itu, menyiksanya. Hembusan napasnya mendadak memendek kala Tantra menggamit kedua telapak tangannya.
“Karena
gua pengen menyudahi semuanya, Tantra. Titik… mengakhiri semuanya” balasan itu
menegas, membuat Tantra mengerutkan kening tak menyangka.
“Segampang
itu, hah?” Tantra tak kalah nyali. Perkataannya itu berbuih kemarahan. Ia
menyambung perkataannya dengan sebuah pukulan ke arah tembok. Hembusan napas
yang terengah-engah, gambaran geraman seekor singa, keringat yang terlempar
keluar sungguh menjadi gambaran dari pria yang kali ini menatapinya dengan
tajam, lebih tajam dari mata pisau. Lagi dan lagi, tatapan itu menjemput
keteguhannya dan membawa hal itu pergi. “Sadar May, Sadar!”
“Kalau
lo menyudahi semuanya, impian itu mau dibawa kemana?” setiap kata itu
menciptakan bungkam.
“May!
Buka mata lo! Dia udah nggak ada! Lanjutin hidup lo! Lanjutin mimpi lo!”
Penekanan dan geraman itu masih ada. Tembakan keringat itu dirasakan Maya yang
tak berhenti menatapi lawab bicaranya. Ada api pada mata Tantra, ada api pula
pada mata Maya.
“Melanjutkan
mimpi itu? Mimpi menjadi designer terkenal?” tanya itu hadir lagi bukan hanya
perkara lontaran, tapi juga seruan isi hatinya. “Melanjutkannya sama aja bunuh
diri!”
"Karena
dia kan? Kematiannya yang bikin lo jadi menghentikan segalanya,kan? Lo
menciptakan titik hanya untuk melepaskan segalanya,kan?” tanya itu melepas
tatapan tajam Tantra. Kini, laki-laki itu tak lagi mengintimidasi lawan
bicaranya.
“Apakah
hanya dengan mematikan impian lo, semuanya akan selesai, May?” nada bicara
Tantra makin meninggi.
“Biarkan
mimpi itu mati, Tantra” sungguh, kata-kata itu meluncur tajam menegaskan
keputusannya. “Pindah ke posisi gua sekarang juga. Lo nggak pernah ngerti,
Tantra. Impian ini adalah tubuhnya dia. Infinity club adalah kepalanya dia,
Tantra. Mana mungkin gua bisa melepaskan dia tanpa mengubur impian ini sedalam
mungkin”
“May!
Gua ngerti! Gua paham! Tapi, bukan berarti dia mati, impian lo juga mati,May.”
“Semua
itu keputusan gua, Tantra!”
“Keputusan
yang didalamnya dipersiapkan sebuah tempat dimana lo bakalan dibusukkan oleh
kenangan-kenangan itu!” kata-kata itu…
“Semudah
itukah,May? Mau sampai kapan? Kapan lo akan bangkit, melupakan dia dan melihat
seseorang yang melihat impian lo sebagai hal yang paling berharga?” Tanya itu
tak juga menemukan muaranya. Tantra terus-terusan mempertanyakan hal yang sama,
hingga ia memutuskan untuk mati dalam kegeramannya dan bergegas, berlari
meninggalkan Maya yang membusuk di tembok bersama seluruh kegeraman yang
disimpannya dalam keteguhan.
Komentar
Posting Komentar