Skenario (dalam dialog di sebuah bangku)


“Tempat ini spesial…” anggukan Maya mengiyakan ucapan Tantra.
“Tempat ini yang mengajakku untuk jujur pada perasaan…” Tantra menangkap hal lain yang bisa jadi tersirat melalui ucapan Maya yang terkesan apa adanya. Sederhananya setiap kata itu seolah menciptakan putaran kisah mengenai gadis di sampingnya
“Jatuh cintamu yang pertama kali? Di tempat ini?” Maya mengubah arah matanya, yang ditangkap Tantra sebagai sebuah pertanda yang mendekatkannya pada suatu jawaban yang paling benar.
“Cinta monyet. Buat apa dibahas. Dia pergi, tanpa kabar…” jawab Maya dengan nada kesal.
Dugaannya benar. “Dan disaat terakhir itu, kamu belum sempat mengatakan apapun?” anggukan Maya menegaskan apa yang diyakininya.
“Aku yang bodoh, Tantra. Aku yang terlalu polos. Aku yang terlalu memendam. Aku yang tidak berani. Aku yang selalu takut. Aku yang selalu pada akhirnya menyesal. Aku yang selalu merasa malu…”
“Menjelek-jelekkan dirimu tidak akan mendatangkan dia…” Tantra menegaskan setiap kata yang membiak dalam bibirnya. “Tidak akan mengandaikan ungkapan perasaanmu akan terucap saat itu kan?” Usai tanya dan kata itu, keduanya terdiam sejenak, memandangi awan yang takkan pernah berubah warna selamanya.
“Kamu tau dia pergi kemana?” tanya itu hadir lagi membongkar keheningan.
Gelengan kepala menjadi jawabannya. “Hampir tiga tahun, Tantra, tapi –“
“Dia punya alasan. Dia punya mulut untuk bicara, tapi hatinya memiliki alasan lain…” kata-kata itu membujur kuat dalam hati Maya. “Skenariomu dan skenarionya berbeda. Dia ingin kamu punya skenario yang lebih baik dalam hidup. Kamu tidak bisa mengikat orang dengan apa yang kamu mau…”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)