Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

jika saja bisa egois

Gambar
tetap saja sulit, menjadikan raga sebagaimana ego bertanya-tanya. tetap saja sulit, menjadikanmu kedua dan rupa ini pertama. . Dia lebih penting. hati memilih suatu yang genting. rasa ini terus berdiang dan beriring. tak ingin sekali ini menatapimu sebagai yang kering. pertahananmu lebih penting, lagi-lagi lebih penting. . Jika saja bisa egois. jika cerita tentang egois menaruhku sebagai penulis, aku akan belajar menjadi ular yang mendesis, menggamit egoku secara bengis, lalu menaruhmu di hutan dengan tatapku yang sadis. . Sayangnya, aku tidak dilahirkan menjadi egois. yang tidak akan membiarkan setan dalam diri menjadi pelukis, takkan membiarkan diri ini sibuk mencari celah menjadikan ceritamu miris, enggan sibuk mematikanmu dengan mengiris, sampai habis, sampai air mata yang lain habis. . sudah raib egoku karena bola mata itu, habis egoku karena janji ini yang selalu terpaku,

rasa yang kau terima

Gambar
jalanmu bukan tanpa cerita, bukan tanpa jurang di depan mata. dari kelabu yang hampir menjadikanmu abu, berlarilah jantung hatimu ke arah kemana engkau mau. tak hanya sebentar caramu membaca rasa, pertanda dan ungkap asmara yang bersemayam di dada. sekali-kali jatuh hati, kau sadari diri, selama-lamanya menanti bukan berarti bunuh diri. . . . berulang dalam katamu di pagi hari, akankah ada yang siap mencari, akankah manusia-manusia itu memberi telinga di tepi, akankah mereka punya hati untuk sekedar menyimpan senyum di pipi, . . . ingin bebas, berulang kali tidurmu di kebas, kau biarkan rasa itu pergi bersama helaan napas, mimpi kau bebaskan dari hujaman lapas, kau ingini bentuk diri layaknya kapas. . . .

sekalipun harus siap menahan

Gambar
tak apa bila kamu ingin mengulangi, tak apa bila kamu terus-terusan mengulangi, tak apa bila kamu tak berhenti mengulangi, sebuah rasa yang membuatku tidur tanpa bermimpi. . . . katamu di sebuah ruang beratap rembulan, takkan terlupa dan tercatat sebagai duri dalam renungan, terlalu mudah untukmu mengumbar kekuatan, sebelum di lembar lanjutan kau lihat sebuah kelemahan. . . . pendengarmu ini diam di tempat, menimpalimu pun aku tak sempat, aku lebih ingin berdiam di tempat, sampai aku lelah untuk menahan rasa rapat-rapat. sampai mata ini direlakan untuk tak terkatup erat. . . . sampai di lembaran pagi, ditanggalkannya kata percuma dengan secangkir kopi, di mana aku belajar mengetahui hati, sambil mencarimu yang juga sedang mencari diri, sambil mempelajari nurani yang tak berhenti memahami, ku ucapkan pada hati, “sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi” . (14 Februari 2020) Thank

untukmu yang berperan sebagai pencerita

Gambar
kau sedang membangun rumah dengan kebimbangan, dengan alas yang kau sebut kegamangan atau kesenjangan. telah lama bibir terkunci, kau takut di maki-maki, kau takut menjadi serigala yang bangga akan taringnya sendiri. kau buat waktu menjadi arang yang termakan api, detik yang kau makan sendiri dan dilahap lezat oleh mimpi. di sahutanmu, kau katakan tak bisa jadi embun pagi, tak bisa menjadi kelanjutan dari kisah yang kau pasang kini. selalu kau katakan manusia-manusia itu menjadikan sandiwara sebagai hobi, dengan lugasnya kau sambut kata mereka dengan sabar hati, hingga kau rasakan lelah di setiap cerita tepatnya di tepi, . . . untukmu yang berperan sebagai pencerita, dengan kisah yang takkan tergantikan di mana-mana, berapa banyak denyut yang kau hela di sana, berapa banyak luka yang sembuh di antara kata percuma, seberapa besar dilema yang kau bagi bersama pendengarmu di sana, seberapa besar usahamu menutup m

takkan ada yang ditinggalkan (titik.)

Gambar
takkan ada yang ditinggalkan sendirian. takkan ada yang mati kesepian, kedinginan. takkan ada yang mengupas hitam dan hidup dalam makian. takkan ada yang terlupa dalam ingatan. . . . belum berhenti detak sang waktu, ketika ragamu hanyut dalam detik pikirmu, amarah dan keluh berpadu satu, kala identitas kau pertanyakan selalu, tepat di hari itu. . . . perjalanan dan hambatan, luka dan setengah mati pencarian, akan selalu penuh suatu naungan, di dalam percaya dan harapan di angan, . . . takkan ada yang ditinggalkan sendirian dalam liang, takkan ada yang menangis sebelum menjadi seorang pemenang, takkan ada ruang bagi sebuah suara sumbang, bagi jiwa yang sesungguhnya merindukan terang.  . . . Photo by  Jordan Whitfield  on  Unsplash

kita sedang disandera!

Gambar
Amarah di tepi bola mata, Api melingkar di segala sisinya, Buruk berita merajai pelupuk gelora, Keadilan menjadi bunga di setiap tutup mata kita, Di manakah rumah bagi setiap aspirasi di dada? . Kita sedang disandera, Oleh penjara yang kita sebut berita buta, Oleh egoisme yang bertahta atas segala, Oleh dunia kata yang dimanfaatkan sia-sia. Oleh dunia rasa yang dimaki-maki percuma. . Sadarkah bila kita sedang  dipenjara? Mengertikah kita bila sedang disandera? Atau kita mulai nyaman diperbudak oleh pelaku sandera? . Tidak ada jalan lain selain berhenti menjadi budak sandera, Menjadi kata yang berguna, bukan tempat sampah menganga, Atau jangan jadikan lidahmu kuburan terbuka yang siap memangsa, Yang berani-beraninya tertawa di atas pahitnya derita. . Photo by : Max Bender

Sabda Asmara

Gambar
Selalu kamu. Puncak bangun tidurku, Menenggelamkan seluruh napas perandaianku. . Warasku menjadikanmu penghuni tahta mimpi, Kau selalu jadi penghuni, Menjadi bunga dalam rumpun-rumpun puisi. . Selalu kamu. Titik pahamku. Tiap jenuh sabarku, Dan caraku dalam nada doaku. . Denyut ini milikmu, Yang berhasil menjatuhkanku dalam bayanganmu, Hutan tropismu, sungai kelemahanmu, Langit lebihmu dan surga ragamu, Izinkan aku terlelap di situ. . Tidak pernah sedalam ini, Mengartikanmu dalam tiap bait di sisi, Menjadikanmu secercah matahari pagi, Bagi tiap senyum di pipi. . Sekarang, tepat di mataku, Kau adalah sabda asmara penuh rayu, Kau daki riuh ramaiku, Kau curi bilah kerinduanku. Yogyakarta, 31 Agustus 2019 #Taring created by canva.com