Ibu Bumi [sebuah cerita pendek]
Tidak ada warna yang membumbung
dalam ruang ini. Putih latarnya mengalahkan bias warna lain yang berlomba.
Tiada sentuhan apapun. Benda-benda berkayu tidak ada. Benda-benda berbahan
plastik tidak ada. Benda berlapis kaca pun tidak. Kosong dan putih. Putih
adalah warna yang kudapati bersamanya, wanita yang kini berdiam di hadapanku
dengan senyum yang bermekaran. Tubuh wanita itu diselimuti pakaian putih.
Wajahnya tidak pucat karena gembiranya simpul senyum yang disuguhkannya.
Wanita itu tidak lagi mengenal pagi
atau petang. Dalam ruang ini, aku pun tak mengenal keduanya. Pagi dan petang
adalah perhiasan bagi mereka yang detaknya bernyawa. Perhiasan itu tak
didapatkan disini. Tempat ini memiliki satu perhiasan yang takkan berganti
hanya karena waktu. Perhiasan itu bernama keabadian. Disinilah aku, bersamanya,
di ruangan ini, berbincang bahkan bersenda gurau tentang ruang di luar sana
yang dihuni oleh para pemilik detak.
“Peristiwa ini tidak akan datang
sampai dua kali…” ucapku pada wanita itu. Kata-kata yang menyembur begitu saja
dari setiap kenangan yang boleh ada di antara kami berdua. Sebuah keterkejutan
yang dibawa malam ini
padaku, dalam lelap yang mendatangkan sebuah tanda bagiku.
”Peristiwa ini dibatasi oleh waktu.
Ibu tidak lagi bergantung pada waktu. Kamu iya…” wanita itu ibuku. Ibu
meninggal setahun yang lalu karena tertimbun tanah longsor. Sampai saat ini,
jenazahnya belum ditemukan. Teka-teki keberadaannya terpecahkan saat ini juga.
Pertemuan kita, ibu…
“Andai aku juga bisa berada dalam
posisi yang sama dengan ibu…” tuturku sembari menggenggam tangannya yang
hangat. Tidak lagi dingin, aku tak mendapati dingin itu lagi di tangan ibu.
Tempat ini membuatnya lebih hangat, sebagaimana ia pernah merasa begitu hangat.
“Tanah longsor tidak memilihmu
sebagai makanan…” ibu menyahut dengan nada lirihnya yang khas. Kerinduanku akan
suaranya mengalahkan kenyataan bahwa ia sudah terlahap oleh tanah longsor
setahun yang lalu. “Dia memilihmu untuk tetap hidup. Dia memilihmu untuk
berbuat sesuatu. Dia memilihmu untuk bergerak. Dan pilihannya tidak pernah
salah”
“Bu, akankah tanah longsor akan
tiba dengan cara yang lain?”
Mendengar pertanyaan itu, ibu hanya
tersenyum.
“Mungkin. tapi tidak sekarang. Kita
tidak sepenuhnya mengerti siklus alam. Ia adalah semesta yang diliputi oleh
tanda tanya. Kita tidak bisa memprediksi apapun. Kita hanya bisa mencegah dan mencintainya…”
“Ngomong-ngomong, bunga-bunga mawar
yang ada di halaman masih selamat, kan?”
Aku menjawab tanya itu dengan
anggukan singkat. Sahutannya adalah senyuman itu lagi. Senyuman dari arah yang
sama. Senyuman kelegaan karena bunga-bunga mawar yang ditanam, tak seluruhnya
dilalap si tanah longsor. Aku ingat betul betapa ibu mencintai bunga-bunga
tersebut. Ibu mencintainya seperti ibu mencintai hidupnya sendiri. Bunga mawar
adalah ibu, itu yang kuingat. Selalu ada ibu pada mawar-mawar itu.
“Bunga-bunga mawar ibu sudah
tertata rapi di rumah baru. Ibu jangan khawatir…”
Jawabanku sedikit menggantung. Aku
tahu, jawabanku ini adalah jawaban untuk melegakannya saja. Selebihnya dari
jawaban itu adalah tanda tanya besar dalam diriku. Apa yang sudah aku buat bagi
mereka, mawar-mawar ibu?
“Mereka kamu rawat setiap hari ?”
pertanyaan ibu membuatku tertunduk malu. Jawabanku yang menggantung semakin
digantung. Jawaban itu membuatku
tergantung pada rasa bersalah. Dan rasa bersalah itulah yang membuatku berani
untuk tidak tertunduk dan mulai menatap mata itu lagi lagi.
“Tidak bu. Kalau ada waktu saja aku
sirami” Jawabku sekenanya. Jawaban yang membuat ibuku kembali tersenyum. Bias
senyuman itulah yang juga membawa rasa malu dalam diriku, karena aku masih
melalaikan tanggung jawabku untuk merawat mawar-mawar itu.
“Kalau ibu memintamu untuk
meluangkan satu menit dalam hidupmu untuk mereka… apakah kamu mau?” tanya itu
membuatku mencipta komitmen yang tak pasti. Pertanyaan itu membuatku ragu
sekaligus tertantang. Tapi apa aku bisa?
“Demi ibu, aku akan meluangkan satu
menitku untuk mereka…”
Jawaban menggantung. Lagi-lagi
menggantung. Aku tahu, jawaban itu hanya di menggantung di bibirku saja. Dan
sekali lagi, apa yang kukatakan adalah jawaban yang diharapkan membuat ibu
tenang.
“Jangan katakan semua ini kamu
lakukan demi ibu. Ibumu bukan hanya aku. Ibumu adalah semesta. Dia lebih besar
dari ibu. Dia menembusi batas-batas kemampuan ibu. Dia hidup dalam dunia
kenyataan yang berdampingan. Di satu sisi, dia adalah pencinta dan perasa. namun
disisi lain, ia dipaksa mati dan dikhianati…”
Kata-kata itu. Semesta dan
kekayaannya yang mungkin bertengger dalam selubung otakku. Semesta dan tubuhnya
yang misterius. Semesta dan rencana yang memiliki siklus, tanpa rekayasa.
Semesta yang membuatku berpikir panjang tentang diriku dan apa fungsiku.
Semesta yang bertanya-tanya tentang aku dan seruan alaminya yang membuatku
malu. Semesta yang membiakkan pertanyaan besar tentang kesatuanku dengannya
yang tercipta karena cinta, bukan karena terpaksa. Semesta yang berseru tentang
Tuhan dan aku. Semesta yang memberi jawaban dimana tempat tinggal ibu.
“Mawar-mawar itu bagian dari semesta.
Ia adalah anggota tubuh dari ibu bumi. Satu menitmu adalah detak dari semesta,
Rona…”
Mawar, ia adalah perwakilan dari
tubuh semesta. Ia ada dan tak terhitung banyaknya. Mawar, keberadaannya, aku,
Tuhan dan alam adalah kunci dari kesatuan yang kulalaikan. Aku sadar. Aku malu.
Aku bersedih. Aku bingung.
Ucapan itu.
Kata-kata yang berhadapan langsung dengan sang waktu. Sudah berapa lama aku
tertidur dalam pemikiran pendek tentang semesta? Sudah berapa lama aku kenyang
di permukaan tanpa menemukan palungnya? Sudah berapa lama aku berdiam tanpa
mencari jawab tentang semesta?
Pertanyaan itu semakin liar.
Menatapi mata ibu sama saja menatapi mata bumi. Menatapi sebuah realita
diam-diam bahwa bumi melihatku juga. Melihat laku kaki dua. Pertanyaan lainnya
adalah sudah berapa lama semesta menatapi yang tetap bergerak pada siklus yang
sama? Sudah berapa lama ia mengeluh tanpa bisa bicara? Sampai kapan ia harus
melihat hal yang sama? Akankah ia akan
melihatnya sampai ia punah dan lemah?
“Sampai kapan memberikan celah bagi
semesta untuk menikmati gelapnya kata binasa? Sampai kapan membiarkan mereka
dilahap kerakusan?”
Kata-kata itu berdengung di
telingaku. Sepertinya aku tidak bisa berlindung lagi pada sikap acuhku. Semesta
bukan tempat untuk mengacuhkan satu sama lain. Semesta adalah jaringan yang
terkait. Jaringan yang berdetak dan bernyawa. Di sinilah aku dan pertanyaanku.
Ruang ini mengikatku pada pertanyaan yang entah jawabnya dimana. Tapi, yang
pasti, semesta membutuhkanku. Bukan hanya butuh kataku, tapi juga niatku
“Pertanyaan ini
akan selalu sama, sampai kapanpun. Hanya satu... sampai kapan?”
Pertanyaan ini berulang. Pertanyaan
ini tidak lagi menungguku untuk diam. Aku harus bergerak. Gerakanku adalah
gerakan bagi kehidupan bumi. Detak bagi semesta.
Buah dari kata
adalah tanya. Selalu ada tanya untukku dan semesta.
Aku mendengarnya
lebih lantang berkata. Ia dan katanya adalah teguran.
Tubuhnya,
kata-katanya adalah teguran yang membuatku bisu. Saat ini aku bisu, ibu. Saat
ini gambar tanah longsor itu menjadi rentetan cerita yang mungkin punya nama.
Kesedihan.
“Sampai kapan membiarkan burung
menggusur sarangnya dengan air mata karena dahan-dahan bertumbangan dengan
paksa?”
“Sampai kapan akar harus menantikan
airnya? Sampai pada penghujung binasa?”
Segalanya adalah pertanyaan bagi
setiap manusia yang hidup dalam semesta raya. Semesta adalah detak. Aku
berdetak bersamanya. Jantungnya adalah jantungku. Manusia, partikel pembentuk semesta sekaligus denyutnya. Tidak
ada benteng di antara keduanya. Yang ada adalah keterikatan mesra yang
berhubungan dengan waktu. Yang ada adalah perputaran masa dimana satu demi satu
ditakdirkan untuk mati. Kematian yang menimbulkan kehidupan. Kematian yang
menimbulkan pola pikir tentang pertanyaan, harus
bagaimana. Tidak cukup bertanya, semua manusia patut bertindak. Kematian
satu partikel mencipta satu kesadaran bahwa semesta bukan zona abadi. Kematian
adalah awal dari sebuah siklus kehidupan yang indah, yang bukan hanya nampak
karena mata, tapi nampak karena setiap makhluk menyadarinya.
Aku tidak berhenti
bertanya-tanya. Mawar, tanah longsor dan ibu. Ketiganya adalah paradigma yang
menggiatkan ribuan imajinasi tentang semesta mendatang, bukan hanya sekarang.
α
“Kapan kita bisa
bertemu lagi?”
Ibu tidak menjawab
dengan secepat kilat. Ia masih saja tersenyum. Senyumnya tak pernah habis.
Namun aku berpikir, waktuku di tempat ini hampir habis.
“Suatu saat nanti,
di tempat yang selalu kamu lihat setiap hari...”
Kembali, ibu
memberikanku teka-teki. Sekian lama aku bertanya-tanya. Pada lembaran yang satu
ini aku mencoba bicara dan tak bosan membubuhkan tanda tanya pada semesta.
“Dimana bu?”
“Dimanapun kamu
berdiri. Dimanapun kamu menghembuskan napas. Dimanapun kamu menatapi apa yang
ingin kamu tatapi dari semesta. Temukanlah ibu dalam semesta dan ingatanmu.
Tubuh ibu memang tidak dekat. Tapi jiwa bisa berada dimana saja ia mau. Ia bisa
berada di ujung kukumu. Ia bisa berada di batang otakmu. Dimanapun, karena ia
diciptakan tanpa ruangan, Rona...”
“Apakah dimensi
waktu punya kuasa, bu?”
“Tidak, Rona. Jiwa
tidak bergantung pada waktu. Temui ibu pada mawar-mawar itu. Temui ibu bumi
pada mawar itu juga. Tidak ada kata terlambat untuk bersatu dengan semesta dan
belajar mencintainya. Kata terlambat akan membuat kita menyesali apapun, Rona.
Jangan buang waktumu. Ini saatnya. Semesta adalah waktumu untuk menemukan sosok
ibu bumi yang sesungguhnya. Waktunya menemukan ibu yang melampaui batas
pemikiran...”
α
Ruang itu hilang.
Mataku tak lagi menatapi apapun yang putih secara penuh. Terang yang kuhadapi
kali ini adalah ruang nyawa manusia. Aku tahu, ruang ini bukan ruang yang baru
saja kudiami bersama ibu. Ruang ini lain. Lebih familiar dan kukenal. Kamar.
“Apakah itu surga?”
Tanyaku pada
keheningan. Tanyaku pada suara lirih burung-burung yang hinggap di dahan.
Tanyaku pada langit yang beranjak membiru ketika aku membuka jendela. Tanyaku
pada ayah yang pagi ini tampak sibuk membersihkan mobilnya. Tanyaku pada
rerumputan basah. Tanyaku pada embun yang tak terlambat membiakkan diri di pagi
hari. Tanyaku pada diri sendiri yang terus menerus merenungi. Tanyaku pada
tanya itu sendiri. Tanyaku bagi ibu bumi yang benar kini kutemui dalam
keberadaan anggota-anggotanya. Tanyaku pada bunga mawar yang kian merona ketika
ibu berdiam di dalamnya, dalam sejuta kenangan yang selalu dapat diraba.
#SelamatMenikmati
Komentar
Posting Komentar