Tamparlah Aku!


Terpilih untuk ya,
dan menyetujui telunjuk yang arahnya adalah pantai dimana karangnya adalah ya.
Bersalaman dengan puja,
bukalah mata dan rabalah cerita.

Di manakah tongkat?
Di dalam kalbu... jangan sampai keliru!
Duduk di semesta dan menyimpan percaya.
Titik ini bukan titik beda.

Musa, tamparlah para panglima!
Jangan sampai matamu terlena.
Dinar dan syikal bukan dagingmu.
Gomer takkan mengganti nyawa.

Mencacah telinga... berbagi.
Diiringi air mata tanyamu padanya.
Tentang luka dan erang dari balik tenang.
Pintu kamar mandi batasi tegar.

Aku hanya bisa mendengar, ibu...
Menyimak dengan prol tape,
Menyimak sungai yang kau tahan alirannya, namuk teriak keluar
Tuturmu, batumu...
Kau dudukkan aku disitu...

"Frater, ayahku sudah meninggal..."
yang berkata padaku anak kelas satu, bangku sekolah dasar.
Dia berkomentar pada latihan menulis yang aku berikan.
Berbisiklah dia. Dia lugu.
Selugu yang tak pernah diringgal, ia sudah.
Alfa, mau bicara apa kamu?
Alfa diam saja. Bisu namun bertanya.
Lalu, Alfa melanjutkan tulisannya di papan tulis sambil merobek dada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)