Tertidur Tubuhku


Kamar itu.

Tempat tidurnya. Nuansanya.

Tertidur tubuhku. Lelahku di situ, membayang kian kemari. Sesekali, mataku terbuka dan menatapi yang nyata. Mataku kembali terbuka dan terbayang sesuatu yang sukar di pelupuk mata. Mataku kembali terbuka dan ku dapati mata air itu berbuah lagi untuk kesekian kali. Ingin ku teriakkan kata lelah, tapi kamar ini terlalu bising oleh kelabuku.

Mataku kembali terbuka dan angin mengintip lelahku seenaknya. Rasanya ingin menghalau, tapi tanganku tak bisa. Mataku masih terbuka dan kini lelah ini coba ku lawan. Sekuat tenaga membangkitkan segala mimpi, sempat tercantum padaku sesuatu yang tersembunyi. Di antara yang tersembunyi, hidup gambaran yang mungkin terjadi jika ku lalui. Jika aku ingin mengakhiri.

Terbukanya mataku mencipta gelisah yang beranak pinak. Tak bisa ku lupa bahkan ketika ku tatap gambaran manusia dalam buku yang tersimpan lama. Gambaran itu terlalu berharga dan aku merindukannya di tempat tidur ini. Aku merindukannya di tengah lelahku yang berguling tak teratur seolah menolak diatur. Tuhan…lelah ini, sampai kapan?

Aku rindu rumahku. Setelah sekian lama berlari untuk pergi. Berlari untuk siap mati. Pada mataku yang terbuka, gambaran itu selalu ada dan begitu nyata. Aku rindu mereka yang hidup. Aku rindu mereka yang hidup dalam gelak tawaku sebelum kelelahan ini ada. Sebelum rencana gila untuk mengakhirinya. Sebelum waktu menelan segala dan aku tak punya penawar atas racunnya. Sebelum mimpi ini luluh lantah dan runtuh tak tertata.

Kebingungan ini menjeratku.

Kebingungan ini mampu menidurkanku. Mematikanku.

Kebingungan ini tak ubahnya misteri yang tak pernah didapati jawabnya. Kerinduan ini adalah kebingungan yang tak menemui jalan. Kehampaan ini tak ubahnya jalan tanpa arah, desah bingung yang tak padam berdengung. Ku dapati hal ini dalam selubung rahasiaku. Ku dapati hal ini tepat di kamar ini kala kelabuku tak ubahnya serigala yang siap menerkam. Dari kebingungan ini, tercipta kebingungan dalam sekam. Aku hanya bisa mendapati bibirku terdiam. Aku tidak bisa berbicara apapun atas kebingunganku.

Terpenjara.

Dongengku terpenjara. Dongeng ini tak berjalan semestinya. Kebingunganku, mata air ini, seolah menjadi racun yang mampu mengakhiri kisah dalam dongengku. Terkadang aku terus bertanya mengapa, tapi lagi-lagi tanyaku terpenjara. Terus-menerus ku teriakkan kata pulang, tapi penjara ini terus-menerus menjemputku kembali. Ingin berlari lebih kencang, namun penjara ini tak habis menyeringai dan aku siap dihabisi oleh jeratnya.

Tersandera.

Rasanya seperti dikunci. Rasanya lelah. Rasanya seperti disandera oleh sesuatu yang ada. Berulang kali bersuara, namun cerita ini tak jua terlepas ke arah udara. Berulang kali bersuara, ku dapati rasa ini berusaha tak berjiwa. Berulang kali bersuara, adakah raga yang mampu menerimanya? Ku hitung lelahku karena tersandera. Ku hitung lelahku karena terus-menerus mendengar suara.

Bayangan mereka terlalu lihai berbicara. Bayangan mereka terlalu pandai berkata-kata. Bayangan mereka merayuku menjadi buruk rupa. Bayangan kelam menjadikanku korban atas dilema. Bayangan kelam menciptakan pasar yang meneriakiku untuk menyerah dan masuk dalam bingkai yang gerah. Berandai-andai menyingkirkan bayangan adalah angan yang tak mudah tergapai. Aku harus melangkah untuk menerima. Bayangan itu coba ku taruh dan ku terima.
...
Ingatanku, saat ini, takkan bisa lupa.

Pudar pun tak selamanya. Hanya ada satu kata untuk menerima. Mencintainya.

Ku terima penjara yang pernah ada. Kehidupan yang pernah tersandera. Kebingunganku untuk menuliskan kembali cerita.


Pict : http://www.sadever.com/wp-content/uploads/226/sad-boy-wallpapers.jpg 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)