Mendoan
Bayangkanlah betapa sedapnya aroma
mendoan kala ditiriskan dari wajan dan dihidangkan di sebuah piring. Aroma,
rasa dan tampilannya yang memikat membuat banyak manusia mabuk kepayang. Tak
cukup mabuk kepayang, setiap orang pun tak segan untuk menyantapnya. Bayangan
aroma, rasa dan tampilannya selalu diidam-idamkan oleh banyak orang, termasuk
Suci.
Pagi
buta, kala tak semua ayam terbangun dan riang berkokok, Suci menyapa tepung
terigu, telur dan tempe yang akan dijadikannya mendoan. Ketiga bahan pokok ini
menemaninya setiap pagi. Ketiga bahan pokok inilah yang akan dipadupadankan dan
menyapa lidah setiap pembelinya kelak.
Ia
memulai prosesnya kembali pagi ini. Dengan baskom, ia menyampurkan semua bahan.
Sembari berkutat dengan adonan, sesekali ia bernyanyi kecil demi memberi suara
pada keheningan. Usai menyampurkan semua bahan, ia bergegas mengambil wajan
yang biasa digunakannya. Tak berlangsung lama ketika ia kembali ke arah kompor,
Rudi sudah berada begitu dekat dengan adonannya. Dilihatnya pria itu
mencelupkan tangan dan meratakan adonan.
Perlahan, Suci
menyingkirkan tangan Rudi dari adonan tepung terigu yang dibuatnya beberapa
menit lalu. Dengan senyum yang merekah dan gelengan kepala, Suci tidak
mengiyakan upaya baik suaminya tersebut. Suci menolak bantuan tersebut dengan
suatu alasan.
“Lebih
baik bapak tidur. Besok kan, bapak harus cari kerja lagi. Biar ibu saja yang
membuat adonan mendoan...” ucap Suci sembari menepuk-nepuk lengan Rudi dengan
tangan kirinya.
“Bapak
nggak bisa tidur. Makanya bapak mau bantuin ibu bikin mendoan...” balas Rudi
dengan tatapan penuh harap.
“Istirahat
saja...” pinta Suci sembari meniriskan mendoan-mendoan yang telah matang.
“Besok pagi, bapak harus cari kerja. Bapak butuh tenaga...”
“Bapak
tahu. Bapak mengerti” ucap Rudi dengan nada kesungguhan. “Tapi izinkanlah bapak
membantu ibu sekali ini saja. Selama ini, bapak belum pernah membantu ibu
membuat mendoan kan?” pertanyaan itu membuat arah mata suci berpindah ke arah dirinya
sendiri dan mencoba berpikir lebih jernih. “Bapak nggak bisa melihat ibu kerja
keras seorang diri...”
“Siapa
bilang ibu bekerja seorang diri ?” sejenak setelah seluruh pemikirannya itu,
tanya itu muncul.
“Siapa
bilang ibu bekerja keras seorang diri?” terulangnya pertanyaan itu tak lagi
membuat Rudi lebih banyak mempertanyakan alasan Suci tak mengizinkannya
membantu membuat mendoan.
“Siapa
yang beranggapan begitu?” tanya itu muncul lagi dari wanita berusia tiga puluh
lima tahun yang bergegas mematikan api kompor dan meniriskan
mendoan-mendoannya.
“Tetangga?”
Suci tak lagi memusatkan pandangannya pada apa yang dikerjakannya. “Pak RT? Bu
RW? Siapa?” tertegunlah Rudi di hadapan istrinya yang tengah menatapnya lebih
lekat. Ia tidak bisa menempatkan jawaban apapun dalam otaknya.
“Ataukah
mendoan-mendoan ini yang berseru keras pada bapak “Hey, Rudi! Pria macam apa kamu! sementara Suci bekerja keras, kamu
malah enak-enakkan tidur sembari terus berpikir bagaimana caranya mendapat
pekerjaan...” “ ia hanya bisa terdiam. Rudi hanya bisa menatapi wanita di hadapannya dengan
mata sayu.
“Bapak
merasa nggak berguna,buk” mendapati ucapan tersebut, terlukislah kerutan tebal
di kening Suci. “Bapak merasa
diri sebagai lelaki pengangguran yang hanya bisa bergantung kepada istrinya
tanpa bisa mengusahakan apapun sampai sekarang”
“Karena
sampai saat ini belum mendapat pekerjaan? Itukah alasannya?”
Rudi
mengangguk sekenanya. Dari balik
kelopak matanya terlihat gumpalan bias kaca yang hampir keluar
“Berpikirlah
lebih jernih, pak. Kesempatan pasti ada. Berusahalah dulu” kata-kata itu
membujur bersamaan dengan tepukan keras yang disandarkan oleh kedua tangan suci
ke kedua bahu Rudi
“Ibu percaya,
suatu hari nanti, bapak, pasti mendapat pekerjaan. Jangan kecil hati, pak” Suci
menyadari bahwa sebuah beban sedang dipikul oleh suaminya.
“Kita
pernah berjanji untuk memikul kesulitan ini bersama-sama. Kita pernah berjanji untuk bangkit bersama-sama kan?”
anggukan Rudi mengurangi kerutan di kening Suci.
“Masih ada Tuhan. Masih ada ibu dan
Andi di samping bapak. Bapak jangan takut. Masih ada mendoan yang juga menopang
hidup kita. Bapak jangan khawatir” anggukan itu kembali muncul, disambut sebuah
pelukan hangat. “Ayo pak! Kita harus bekerja keras bersama-sama. Jangan
menganggap ibu hanya bekerja seorang diri”
Salus.
Komentar
Posting Komentar