Aku dan Kamu : Brownies
Kini, kelima perempuan itu sudah berada dalam satu lingkar meja. Seperti ritual-ritual suci hangout biasanya, kelimanya mencoba untuk melepaskan segala penat di kampus atau sesekali menggosip bertemankan secangkir cappucino hangat. Keakraban itu amat terasa ketika pesanan mereka tiba dengan selamat. Wanda yang kala itu tampak melunak terlanjur memesan sepiring brownies strawberry dan milk shake vanilla. Keduanya adalah menu yang biasa Mikha pesankan untuknya setiap mereka mampir ke café tersebut. Tentunya, kebodohan itu bisa membuat rencana Wanda untuk proyek move onnya berantakan. Entah mengapa keterlanjuran itu merupakan sebuah pertanda. Ataukah hatinya memang sedang merindukan Mikha.
“Wan… kenapa elo pesen makanan kayak gitu lagi sih…” ujar Melodi sembari menyeruput Milk shake strawberry yang dipesannya. Melihat Wanda memesan menu yang sama dengan makanan dan minuman yang selalu Mikha pesankan pada perempuan dihadapannya itu, Melodi sebatas menggenggamkan tangannya atas Wanda kemudian mengingatkannya untuk membuang semua kenangannya atas Mikha dan memulai hidup baru tanpa harus menyimpan partikel sekecil apapun dalam dirinya. “Lo inget apa lo nazarkan dalam diri lo kan ? elo janji mau ngelupain Mikha kan, Wan…?” tanya Melodi disambut sebuah anggukan dari Wanda.
“Gue akan tetap ngelupain dia kok, Mel. Lo tenang aja. Mana mungkin gue lupa sama nazar gue sendiri…” ujar Wanda membohongi hati kecilnya sendiri. Dalam lubuk hatinya terdalam, mana mungkin ia menghapus ukiran kenangannya bersama Mikha, meskipun kenangan-kenangan tersebut tidak lagi membekas dalam dirinya secara penuh. Melihat reaksi yang keluar dari mulut Wanda barusan, keempat sahabat di depannya tersebut tampak lega. “Oh ya guys, by the way, kalian punya gossip terhangat nggak sih..?” Melihat Wanda yang tampak bersemangat dengan hidupnya, keempat perempuan dihadapannya juga terlihat senang dengan kemajuan tersebut.
“Ya punya dong, Wan. Gue punya tiga penawaran gossip sesi pertama…” bujuk Yasmin, mencoba memulai acara gossip yang berlangsung dengan tiga penawaran topik. “Yang pertama.. Uci, temen seangkatan kita, baru aja beli tas yang punya brand keren banget. Yang bikin gue heboh sendiri, dia bilang kalau tasnya itu belinya di Amerika dan cuma tinggal satu di dunia…” ujarnya dengan berapi-api dan memancarkan gerak-gerik kehebohan. Mendengar topik pertama yang dilayangkan oleh Yasmin, Wanda dan tiga sahabatnya yang lain sebatas gigit jari. “Yang kedua… Diandra, anak kedokteran.. ternyata ketahuan hamil. Menurut sumber terpercaya sih, yang ngehamilin dia itu si Hendra, pacarnya dia. Itu lho.. anak manajemen…” Topik kedua yang disampaikan Yasmin kali ini membuat Wanda miris dan sedikit meragukan gossip yang beredar karena ia tahu sekali bahwa Diandra adalah anak yang alim. “Yang ketiga.. gossip ini asalnya dari anak-anak manajemen. Elo pasti tahu Oktavia kan ? Model cantik yang suka pamer kemesraan bareng sama Dodit. Katanya, dia baru aja pulang dari korea dan dia cerita kalo dia baru aja ketemu sama boy & girl band terkenal. Ih, amit-amit.. kalo gue jadi dia, gue nggak bakalan ngumbar-ngumbar hal sesimple itu jadi bahan pembicaraan satu kampus. Kelihatan berlebihan banget nggak sih…” Sejenak, Yasmin menghela nafas kemudian menyeruput minuman dihadapannya. “Jadinya, kalian mau pilih topik yang mana ?”
“Kalo gue sih milih topik tentang Diandra…” celetuk Melodi dengan seluruh persertujuannya.
“Gue milih topik yang sama dengan Melodi. Kayaknya, topik ini kelihatan paling hot dibandingkan yang lain…” ungkap Patricia. “Kalo lo milih mana Wan ? Dari tadi, lo diam aja..”
“Gue milih topik kayak kalian aja lah…” tukas Wanda mencoba menetralkan diri.
“Oke deh. Mari kita mulai acara gossip ini dengan menyuap satu sendok cake yang ada dihadapan kalian…” Keganjilan mulai terjadi ketika diantara lima perempuan itu, hanya Wanda yang memesan sepotong brownies. Merasa hanya ia yang memesan brownies, Wanda bergegas menyuruh keempat temannya untuk mencicipi brownies yang dipesannya. Tiap-tiap dari keempat sahabatnya itu mencoba potongan demi potongan, kecuali Wanda yang tampak termangu sebelum mencicipi brownies itu. “Wan, sekarang giliran lo buat makan sepotong…” ucap Yasmin seraya mempersilahkan Wanda memakan sepotong brownies sebagai persyaratan dimulainya acara gossip menggosip diantara lima perempuan itu.
Dicicipinya brownies itu dengan cukup tulus. Tiap-tiap komposisi dalam brownies tersebut masuk ke dalam mulutnya dengan perlahan, lalu mencekat dengan aroma dan rasa yang memikat. Entah apa yang kali ini dipikirkan oleh Wanda ketika ia mencoba mendeskripsikan bahwa brownies yang ia cicipi kali ini sama persis dengan racikan brownies milik Mikha. Perbedaan tampak begitu jelas. Ia mengetahui betul bahwa rasa brownies di café tersebut tidak biasanya seenak ini. Mendadak, kenangannya bersahutan.
12 Juli 2012
Langkah kaki Wanda tidak tertahankan lagi. Bergegas, ia kembali menuju café dimana tempo hari ia kunjungi bersama dengan Yasmin dan kawan-kawan. Sebuah rencana kecil telah ia siapkan. Wanda ingin mengetahui segalanya tentang peracik brownies yang hampir saja mencontek resep brownies buatan Mikha, mantan kekasihnya yang telah berpulang. Sebagai permulaan rencana, ia memesan dua menu yang terbiasa ia pesan. Sepiring brownies dan segelas milk shake. Sesekali, dipandanginya tiap sudut ruangan yang makin tertata rapi. Cahaya mentari yang mengkilat kerap menyesap dalam rongga-rongga. Wanda terduduk sembari mengamati badan jalan yang kian tersiksa saja karena hantaman badan besi yang melintas diantaranya. Tak berlangsung lama, pesanannya datang jua. Wanda yang tampak tidak sabar bergegas memakan brownies tersebut suap demi suap. Benar. Rasanya masih sama dengan brownies yang ia rasakan ketika Mikha membuatkannya brownies dengan topping keju di atasnya. “Rasanya benar-benar sama dengan brownies bikinan Mikha. Gue nggak bisa menyangkal hati gue sendiri kalau tubuh dan jiwa ini merindukan sosoknya. Bahkan tiap detik dalam hidup gue adalah nafas buat dia. Jujur, gue nggak pernah percaya bahwa dia sudah meninggal. Dan kejujuran hati gue yang membawa sebuah pengharapan besar dan mempertemukan gue pada rasa yang sama dalam brownies ini. Tiap-tiap komposisinya adalah bagian tubuh Mikha yang nggak lagi bisa gue sentuh…”
15 Juli 2012
Hujan membasahi bumi. Tetes demi tetesnya adalah sebuah penghujung yang tak terduga untuk Jakarta. Kota metropolitan yang sempat mengental dengan kesibukan yang bejibun dan kemacetan di jalan mendadak berdiam dalam kesunyian kelonggaran. Termasuk Wanda yang bergegas mencopot highheels yang sempat menancap dikedua kakinya, lalu masuk ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh. Tubuhnya yang basah kuyup disambut dengan senyuman Renata, sahabatnya. Sebuah pesanan menunggu kedatangan Wanda. Dengan sigap, Renata membantu Wanda mengeringkan pakaiannya yang basah lalu mendudukkan perempuan itu di sofa. Kini, mereka berada di suatu posisi yang pas untuk saling bicara. “Maaf ya Re, aku telat pulang. Untungnya, tadi aku sudah pesan bibi untuk suruh kamu duduk di dalam dulu…” ucap Wanda sembari mengoyakkan rambutnya yang ikut-ikutan basah karena hujan di luar area mereka yang makin menderas.
“No problem kok Wan. Aku paham banget kalau kamu lagi sibuk banget di kampus…” tukas Renata sembari mengambil tas besar miliknya lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna coklat muda yang nampak seperti ID Card wartawan. “Ini pesenan kamu. Aku sengaja ganti namaku jadi nama kamu biar nggak kelihatan palsu. Sebenarnya, ID Card ini buat apa sih, Wan ? Kelihatannya genting banget…” tanya Renata pada Wanda yang kali ini tampak gelisah.
“Mm… ID Card ini untuk –“ Wanda tampak kebingungan akan jawaban yang disediakannya untuk Renata yang tampak curiga.
“Untuk apa, Wan ? Aku boleh tahu ?”
“Boleh kok…” celetuk Wanda lagi. “Aku pinjam ID Card ini untuk wawancara bareng orang kecil. Semua mahasiswa diharuskan untuk punya ID Card biar bisa wawancara. Makanya, aku langsung contact kamu biar aku bisa pinjam ID Card wartawan ini…” Kebohongan yang dilancarkan oleh Wanda memanglah berhasil membuat Renata yakin bahwa sahabatnya itu mengucapkan sebuah kejujuran.
17 Juli 2012
Semilir angin membawanya pada tempat yang sama. Terduduklah ia di suatu sisi dengan ID Card yang berkalung di lehernya. Segelas milk shake dan sepiring brownies kembali menemaninya. Wanda yang tak sabar akan rencana penyelidikannya kali ini mencoba lebih relax dan santai dengan atribut kewartawanan yang dipinjamnya dari Renata semalam. Kali ini, ia tidak bisa tampil biasa-biasa saja. Kini, Wanda tampak seperti wartawan yang sedang makan siang dengan suguhan makanan dan minuman favoritnya.
Merasa waktu dan suasana telah menunjukkan ketepatan, Wanda bergegas mencegat salah satu waitress yang berjalan dangan santai dihadapannya. Waitress muda dengan rambut setengah bahu tersebut mendadak berhenti dan menatap Wanda dengan tatapan netral. “Ada yang bisa saya bantu, mbak ?” tanya waitress tersebut dengan nada lembut.
“Perkenalkan, saya Wanda. Saya adalah wartawan majalah remaja. Saya tertarik dengan brownies ini…” Sebisa mungkin, Wanda meyakinkan waitress tersebut bahwa ia adalah seorang wartawan professional. “Bisakah saya mewawancarai pembuat brownies ini ? Mbak bisa memanggilkan pembuat browniesnya sekarang ? Saya tidak sabar untuk mewawancarainya” Mendengar seluruh perkataan Wanda, waitress tersebut hanya sebatas tersenyum kemudian menyahut,
“Kalau Mbak Wanda berkeinginan untuk mewawancarai pembuat brownies ini, saya bisa memanggilkan chefnya. Tunggu sebentar ya mbak…” Sembari waitress bertubuh tinggi itu bergegas pergi memanggilkan pembuat brownies yang ingin ditemuinya, Wanda cepat-cepat menyiapkan kamera yang semula berada di tasnya kemudian mengeluarkannya dengan segera.
Derap-derap kaki mulai terdengar dari balik badannya. Seorang laki-laki tegap dengan wajah tampan itu sempat menatap Wanda lalu duduk dihadapannya secara langsung. Terkejut dengan kedatangan chef pembuat brownies yang dipesannya, Wanda sebatas tersenyum kecil kemudian menjabatkan tangan akan laki-laki dihadapannya untuk memperkenalkan diri. “Saya Wanda Diandra, boleh saya tahu nama anda ?” tanya Wanda sembari memeriksa tiap detail pakaian yang dikenakan oleh chef tersebut. Alhasil, ia menemukan petunjuk yang sempat membuatnya terperanjak dan salah tingkah. Nama dari chef tersebut terpampang jelas di atas saku kirinya. Sebuah nama yang sama dengan masa lalunya. Mikha.
“Saya Mikha Andrean. Bagian dari chef inti sekaligus pembuat brownies yang selama ini mbak nikmati…” Wanda mencoba menangkap sebuah sinyal-sinyal aneh yang membuatnya begitu mengenal laki-laki dihadapannya. “Tika bilang, Mbak Wanda adalah wartawan yang sengaja datang kemari untuk mewawancarai saya. Apa benar ?” Sebuah anggukan lahir dari kepala Lala yang mulai memanas.
“Saya bermaksud mewawancarai anda untuk bahan majalah kami dalam rubrik kuliner. By the way, kita bisa mulai wawancaranya sekarang, kan ?” Wanda mulai menyiapkan segala pertanyaan dalam otaknya. Mikha yang tampak santai mencoba memahami situasi hati Wanda yang mendadak menegang.
“Mbak Wanda nggak usah tegang begitu, santai saja..” tukas Mikha mencoba menenangkan Wanda yang masih saja gerogi dengan profesi bohong-bohongannya itu. Dengan anggukan kecil yang serba salah, Wanda yang tampak gelisah mencoba menanyakan satu demi satu pertanyaan yang lahir secara kebetulan.
“Saya udah berulang kali mampir kemari dan selalu memesan menu yang sama. Strawberry brownies dan milk shake. Kira-kira, anda bisa menceritakan resep rahasia dari brownies yang anda buat ?” Mendengar pertanyaan tersebut, Mikha sempat tersenyum kecil dan mencoba menyanggupi pertanyaan itu.
“Saya nggak punya resep yang pasti. Bahkan, resep brownies yang saya buat sama persis dengan brownies-brownies pada umumnya. Cuma, saya membuat brownies-brownies itu dengan hati dan cinta yang tulus untuk pelanggan-pelanggan saya…” Jawaban tersebut sempat menyentak hati Wanda. Perkiraannya jauh dari apa yang telah ia pikirkan selama ini. Lontaran yang disampaikan oleh Mikha memang sangat berbeda. Terdengar lebih tulus dari lubuk hati terdalam laki-laki dihadapannya itu.
“Saya boleh menanyakan sesuatu yang agak sedikit menyimpang –“ Ucapan yang disampaikan oleh Wanda kembali membuat Mikha terkekeh.
“Pertanyaan menyimpang ? Apa itu ?” tukas Mikha mencoba membaca raut wajah Wanda yang mendadak berubah.
“Jujur, saya kaget waktu lihat name tag di saku kiri anda. Nama yang anda miliki sama persis dengan nama almarhum pacar saya…” Mendengar ungkapan yang diucapkan oleh Wanda, Mikha terdiam. “Pacar saya meninggal di Los Angeles karena kecelakaan berat…” sambungnya membuat Mikha membisu tanpa harus ia memberikan sebuah sahutan. “Banyak kenangan yang tersisa sewaktu saya masih bersama dengan dia. Namun sayang, Tuhan lebih memilihnya untuk pulang. Saya nggak bisa berbuat apa-apa…” tambahnya. “Sewaktu almarhum Mikha masih hidup, dia sering sekali membuatkan saya brownies strawberry. Dan yang lebih membuat saya nggak bisa melupakannya, rasa dari brownies yang anda buat sama persis dengan rasa dari brownies yang dia buat untuk saya…” Mikha terperanjak. Kini, ia menyadari bahwa Wanda sedang menguras air matanya sendiri.
“Saya terharu dengan cerita Mbak Wanda…” kata Mikha memulai sahutannya. “Saya juga mau sharing sesuatu nih, mbak. Semoga Mbak Wanda mau dengar..” sambungnya seraya melepas topi yang sempat menempel di kepalanya. “Sebenarnya, saya juga tidak tahu siapa diri saya dan darimana asal saya. Hanya saja, seseorang mengambil saya menjadi seorang chef disini. Semula saya memang asing dengan semua bahan-bahan brownies. Tapi, sebuah cuplikan masa lalu membuat tangan saya tergerak untuk membuat brownies. Bahkan, untuk mendapatkan nama Mikha sekalipun, saya hanya mengandalkan foto ini…” Mikha memberanikan diri untuk mengeluarkan secarik kertas foto yang masih dalam posisi terbalik. Wanda yang mendadak mengamati tulisan Mikha yang tertulis di bagian belakang kertas foto sempat terkejut dan salah tingkah. “Tanpa saya tahu siapa diri saya yang sebenarnya, saya sengaja mencomot nama “Mikha” dari manusia dalam foto itu..” Wanda semakin mengencangkan insting pendengaran akan penjelasan Mikha yang terdengar teramat dalam.
“Lalu, apa anda nggak takut memakai nama orang lain ?” tanya Wanda lagi.
Mikha bergegas menggelengkan kepala. “Pak Vinsen, orang yang mengambil saya menjadi chef ini menjelaskan bahwa nama Mikha adalah nama asli saya. Tapi, ketika saya membuka foto ini…” Secara tak sengaja, foto itu terbuka. Wanda yang sempat mengamati foto tersebut mendadak terperanjak dan kaget karena manusia di dalam foto tersebut adalah Mikha, laki-laki dalam masa lalunya. “Wajah saya nggak seperti laki-laki di dalam foto ini. Pak Vinsen memberikan penjelasan kalau saya adalah korban kecelakaan dan wajah saya rusak berat. Maka dari itu, Pak Vinsen memutuskan untuk mengoperasi wajah saya. Berita buruknya, setelah kejadian itu, beliau mengatakan bahwa saya mengalami amnesia” Hati Wanda mendadak membuka hati pada laki-laki dihadapannya. “Berita baiknya, saya adalah saya yang ada di dalam foto itu, tidak berubah. Yang berubah hanya wajah saya aja..” Air mata mengalir deras dari kelopak mata Wanda. Ia tak dapat menahan kemauan hatinya untuk memeluk Mikha, kekasih yang selama ini dianggapnya sudah tiada, kini berada jelas dihadapannya tanpa harus ia kembali berpulang ke surga. Meskipun wajah Mikha bukan lagi seperti dulu, namun hati Mikha masih menjadi miliknya. Bahkan, Wanda siap menjadi orang yang dapat mengembalikan semua ingatan Mikha yang sempat terhapus karena kecelakaan berat tersebut.
Asyik juga bacanya Mbak. Ceritanya bagus. Makasih mbak
BalasHapusMonggo singgah di www.abdulmajid.id
Terima kasih mass...
HapusKelinci99.org Situs Agen Judi Togel Online dan Live Game Terpercaya
BalasHapus- Bonus Deposit 5rb Setiap Hari
- Minimal Deposit Rp 20.000
- Diskon Togel Terbesar Sampai 66%
- Bonus Cashback 5% (Khusus Live Game)
- Bonus Referral 1% ( Tanpa Batas )
- Berapapun Kemenangan Anda Pasti Kami Bayarkan 100%
- Anda Akan diLayani Selama 24 Jam Non Stop
Kenyamanan dan Kepuasan Anda Menjadi Prioritas Utama Kami, Semoga Beruntung Bermain Bersama Kami di Kelinci99.org