Tidak perlu engkau mengerti, aku sudah tahu diri. Tidak perlu sedikitpun engkau pahami, aku sudah tahu diri. Aku sudah terlalu banyak bermimpi tentang memiliki, Namun aku tahu diri, Diri ini tak bisa mempertemukan mimpi dengan dirimu sendiri. Aku sudah terlalu banyak menuliskanmu dalam setiap diksi, Namun aku tahu diri, Diri ini tak mampu bertemu dengan bola matamu sendiri. Aku sudah termenung dalam renung, Namun aku tahu diri, Sujudku takkan mengindahkanmu untuk datang kemari. Aku sudah terlalu lama terperangkap dalam harap, Namun aku tahu diri, wujudmu takkan kekal dalam perandaianku kini. Aku sudah terlalu lama merindu dalam lagu, Namun aku tahu diri, pujaku takkan kau kenal dalam tapak kakimu kini.
Dulu, aku memandang sebuah salib sebagai suatu hal yang sulit untuk dipikul. Dulu, aku memandang bahwa salib adalah seluruh perasaan menyiksa yang membuat aku terjatuh dan terpuruk. Aku mengaku, salib di masa lalu pernah membuatku terperosok terlampau dalam. Aku pernah merasa sakit yang bahkan tidak ingin lagi aku rasakan sampai saat ini. Rasanya tidak ingin merasakan salib itu kembali. Aku tidak ingin mengulangi hal yang sama di masa lalu karena aku mau belajar menjadi manusia baru. Ini membutuhkan sebuah proses. Salib di masa lalu memang berat. Mengembalikannya kembali di masa kini adalah sebuah tantangan besar bagi hati dan pikiran. Namunlah, aku mencoba untuk membawa pengalaman tersebut sebagai proses belajar di hari ini. Pengalaman itu teramat berharga dan punya arti. Pengalaman tersebut selalu membuatku berserah pada kuasa Tuhan. Pengalaman tersebut tidak membuat aku menyerah dan aku mau bangun lagi. Seorang Alfa bisa bangun lagi dari rasa sakitnya adalah sebuah pr...
Masihkah ada cinta? Bila jatuhnya mereka dirangkai oleh benci yang ditata. Masihkah kemanusiaan digenggam oleh kita? Saat menghadapi kenyataan “beda” yang dipandang buta. Masihkah segalanya hanya berpangku pada kata? Saat realita berbicara bahwa rasa adalah pemeran utama. Akankah kerinduan untuk menjadi satu “mati” karena kerinduan untuk mencaci maki? Akankah kehidupan untuk berbakti “mati” karena pikiran sempit bagi bumi negeri? Akankah hati untuk melayani dan mencintai “harus gugur” karena ketiadaan toleransi? Akankah toleransi hanya hidup sebagai “mimpi” tanpa realisasi? Pict : https://metro.tempo.co , https://www.visualtv.live , https://mp4dl.xyz , tajuktimur.com
satu-satunya jalan, hanya kembali.
BalasHapus