Untuk saya, menulis adalah cara untuk bertutur, baik spontan maupun tersamarkan. Menulis adalah kiat olah ekspresi. Cara ini yang saya pilih untuk mengolah perasaan-perasaan yang hadir silih berganti. Tak boleh dilupakan, menulis adalah kegiatan menciptakan album foto berbentuk tulisan dimana kita bisa mengabadikan momen-momen tak terlupakan. Buat saya, menulis adalah kehidupan kedua dimana saya bisa bernostalgia sepuasnya dengan berbagai kenangan yang baik maupun peristiwa yang buruk sekalipun. Berkaca bahwa menulis merupakan kesempatan untuk mengolah rasa perasaan, saya pun tergerak untuk mengajak teman-teman semua untuk bertutur secara spontan maupun tersamarkan melalui proses ini. Nah, kali ini saya mau mengajak teman-teman untuk membuat sebuah karya bersama. Saya tidak akan mendikte teman-teman perkara cara menulis atau perkara inspirasi. Buat saya, karya ini adalah karya bersama yang bukan hanya gerak pena saja tapi juga gerak hati untuk mau merasakan sesuatu yang le
Dulu, aku memandang sebuah salib sebagai suatu hal yang sulit untuk dipikul. Dulu, aku memandang bahwa salib adalah seluruh perasaan menyiksa yang membuat aku terjatuh dan terpuruk. Aku mengaku, salib di masa lalu pernah membuatku terperosok terlampau dalam. Aku pernah merasa sakit yang bahkan tidak ingin lagi aku rasakan sampai saat ini. Rasanya tidak ingin merasakan salib itu kembali. Aku tidak ingin mengulangi hal yang sama di masa lalu karena aku mau belajar menjadi manusia baru. Ini membutuhkan sebuah proses. Salib di masa lalu memang berat. Mengembalikannya kembali di masa kini adalah sebuah tantangan besar bagi hati dan pikiran. Namunlah, aku mencoba untuk membawa pengalaman tersebut sebagai proses belajar di hari ini. Pengalaman itu teramat berharga dan punya arti. Pengalaman tersebut selalu membuatku berserah pada kuasa Tuhan. Pengalaman tersebut tidak membuat aku menyerah dan aku mau bangun lagi. Seorang Alfa bisa bangun lagi dari rasa sakitnya adalah sebuah pr
(bara no melody...) Setiap malam minggu, aku selalu menyediakan waktu menjadi pendengar setiamu. Setiap malam minggu, aku setia menikmati alunan melodi yang tercipta dari kesepuluh jemarimu. Setiap malam minggu, mataku selalu terhibur dengan keindahan bayanganmu di balik sebuah piano klasik berwarna hitam. Gaun hitam dengan kolaborasi pernak-pernik di beberapa sisi, membuatmu tampak elegan, menjadi juwita bagi puluhan pemandang. Aku duduk di deretan ketiga. Aku duduk dengan santai, menikmati susunan melodi yang terangkai rapi. Aku duduk terdiam, tanpa suatu keinginan untuk bergumam. Aku terpaku sendiri, terpaku menatapi. Aku tak ingin pergi, aku tak ingin melewatkan keindahan yang terpatri. Kamulah asal keindahan itu, membuatku tersipu kaku. Menit demi menit. Aku berjalan dalam rangkulan menit. Menit membawaku lebih dekat padamu. Satu detikpun tak pernah terlepas dari rangkulanku. Aku begitu nyaman dengan pemandangan yang membuatku membisu hingga berakhirnya waktu. Tak
satu-satunya jalan, hanya kembali.
BalasHapus