Mereka Menyebutnya : Dera



Teriak itu teriakku.

Rasa itu bukan sakitmu.

. . .

Aku diam, sambil mengerang.

Aku tertawa, sesekali mengenang.

. . .

Dera di awal mula,

Atau bahkan di akhirnya pula?

Akankah jiwa tetap mempertimbangkannya?

. . .

Sulit marah padamu.

Pada selumbarmu aku menyerah.

Aku mati dalam toleransi.

Tuhan menyeretku jauh dari perkiraan.

Sudah cukup.

. . .

Teguran.

Alasan.

Meramaikan setitik angan.

. . .

Sebuah kisah nyata yang dibalut dengan refleksi membawa “Dera” bukan hanya menjadi himpunan kata-kata, namun menjadi bagian terdalam dari perjalanan mencintai kenyataan. Saya sebagai penulis yang paling dekat dengan puisi ini merasa bangga. Akhirnya, saya tidak perlu banyak kata untuk mengungkap apa yang menjadi ungkapan hati yang bukan rencana amarah. “Dera” dituliskan sebagai sebuah bukti nyata bahwa cinta adalah kekuatan terbesar dalam sebuah hubungan. Cinta bukan benda langit. Ia nyata bagi saya dan anda. 
. . .
Cinta membuat kita tetap merasa bangga di atas rasa kecewa. Cinta membuat kita tetap merasa bangga di atas segala dera. Tidak perlu lagi ada batas antara cinta dan rasa sakit yang ada. Tidak perlu lagi ada batas antara diri sendiri dan sesuatu yang berseberangan dengan diri. Hanya ada kenyataan, penerimaan, ketahanan, dan ketabahan.
. . .
Alfa Amorrista


Nantikan Project Gambardiri Selanjutnya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Penuang Cerita Dalam 1 Karya

Bersatu Dengan Salib (sebuah refleksi)

Melodi Setangkai Mawar (a short story)