Terima Kasih, Cinta.
Terima
kasih atas cinta yang selalu kalian berikan
.
. .
(Gadis
dan Senja)
Berlari menepi sembari melukis mimpi
Terpaku dalam sunyi bermandikan semburat diri
Tergugah oleh penantian tanpa suatu arti
Menantikan pelangi, sesosok wajah yang tak juga terbingkai
dalam hati
Rona yang beriring, tangkas menangkap segala
pertanda
Gadis bernama nyawa yang terduduk bersama senja,
Ia bernaung menautkan jiwa
Kembali ia terbawa, mempertanyakan sesuatu pada
cakrawala
Gadis itu memejamkan mata
Kedua telapak tangan yang terkatup di depan dada
Berteman angin sepi yang terbawa masa
Meringkuk beralaskan sebuah bangku, menanti dengan
rindu
. . .
(Rasa)
Aku bukan penipu
Aku lebih pandai meragu
Tak mudah termakan rayu
Tak mudah termakan dialog palsu
Aku adalah rindu
Aku mudah terpaku
Terhisap oleh rona-rona pilu
Aku berperan dalam drama baru
Meringkuk dalam suatu belenggu
Meringkuk dalam sebilah rasa yang tak sekedar aliran
lalu
Mengulas serpihan cerita,
Alinea yang berkubang dalam lingkaran semu
Bergerak bersama kata, dilema menjadi goresan candu
Meredam, aku pandai memendam seberkas sendu
. . .
(Menatap Luka)
Kala langit terlukis penuh duka
Setiap bayang luka meratap penuh daya
Kedua bola mata termangu mencari sebilah rasa
Tanpa tawa, tanpa nada, tanpa sebongkah cerita,
tanpa sergapan tanya
Tanpa nada ketika seruan jiwa tak kunjung teraba
Tanpa kata demi kata yang bersungguh merajut asa
Tanpa rona, ragu meradang, mengorek suatu paradigm
Kala lautan terisak penuh lara
Jingga terbiasa merana, terlelap bersama rangkulan
cakrawala
Kelam menyeringai penuh canda, menyisakan pedih yang
terbawa
Kelam merangkai fana, Jingga meraih seberkas cahaya
Kala angin mengibaskan suatu pesona
Jingga terngiang akan suatu ingatan, denyut yang
timbul ada
Sebuah warna, merasuk dan berada dalam
sangkar-sangkar pelita
Sebuah dongeng yang meluap, tiap aroma yang kuat
tertangkap
Perih yang meredam, penuh diam, kala itu pasir
sedang memendam
Hujaman setajam duri telah kembali, Jingga bergegas
untuk berlari
. . .
(Daya)
Raga
Surga
Warna
Terbias samudera, tergoda oleh aliran rupa
Tertawa, Gangga melawan derita, melukai suatu
pertanda
Tertawa, Gangga merangkai sebentuk bahagia
Gangga punya gumpalan daya
Sunyi
Sepi
Diri
Kiasan demi kiasan menggilas setitik mimpi
Kala itu, Gangga menangkap setetes asa yang
terangkai rapi
Gangga menatap kilatan-kilatan api dari perut bumi
Gelombang rasa yang tergapai, Ganggah bersungguh
untuk menggapai
Tajam
Malam
Bungkam
Kala rembulan meronta penuh cekam
Menghujani malam dengan sebuah bohlam
Tenggelam, ia tampak muram kala kabut meredam
Bergumam, Gangga meradang kala hati mendendam
. . .
(Bertanya pada
Bintang)
00:00
Lama, Pelita mengundang suatu tanya
Lama, Pelita menangkap suatu tanya
Lama, Pelita membungkam suatu tanya
Lama, Pelita memendam suatu tanya
Lama, Karam mengeja suatu makna
Lama, Karam membisikkan sebujur kata
Lama, Karam menyingkirkan segala nada
Lama, Karam menodai serpihan rasa
00:01
Karam bertanya pada bintang
“Akankah Pelita sedang termenung di balik jendela?”
Bintang terdiam, bintang memilih tak memberi jawab
Pelita bertanya pada bintang
“Akankah Karam sedang terdiam muram?”
Bintang terdiam, bintang memilih tak memberi jawab
Karam bertanya kembali pada bintang
“Akankah Pelita sedang meredam tawa dari balik
jendela?”
Bintang terdiam, bintang memilih tak memberi jawab
Pelita bertanya pada bintang
“Akankah Karam sedang meredam rasa kala bulan
temaram?”
Bintang terdiam, bintang memilih tak memberi jawab
. . .
THE BEST OF
INFINITY
(Air,
Api :
Mereka
Menemukan Muara)
Terkadang bagaikan api.
Kilau cahayanya mampu mengedipkan mata.
Tersambar di muka, akhirnya.
Ku terpana merasa sakitnya.
Teraba dan memar itu ada.
Terkadang pula bagaikan air.
Diam namun liar.
Perlahan membasahi sanubari.
Merindukan ujung, ujung air.
Tapi tak ada.
Mengalir tak henti. Ku pun menanti.
Setiap jiwa hanya bisa bertanya.
Kapan?
Kapan datangnya pelipur lara?
Suatu saat, percaya adalah muara.
Ya, muara yang memberi rinduku.
Muara bagi dahaga. Kita tentara percaya.
Percayalah
Alfa
Amorrista x Yongki Artha
(dalam project : SERUAN PARADE)
. . .
(Aku Ingin Mencintaimu Dalam Diam)
Di tengah
pengapnya malam,
Di tengah
redup cahaya yang seolah membungkukkanku dalam sekam,
Ingin
rasaku berlindung dalam diam.
Ingin
rasaku mengerang dan memakan bunga yang karam
Di tengah
naungan rembulan,
Tertulislah
padaku kisah ini dalam lembar buku harian.
Kesan akan
birunya perasaan,
Dalam
renungan inilah, juangku menemukan suatu ikatan.
Pandangmu
yang tersamar dalam selumbar,
Bayangan
yang enggan kuumbar.
Aku takut
menjadi samar. Aku takut menjadi korban dari memar.
. . .
(Bertanya
Pada Tuhan)
Tuhan,
inilah tanyaku.
Tentang
rindu yang membisu.
Akar
hidup yang tak tergambar dalam lukisanku.
Kata
yang terdiam, mengerak dan bergegas membatu.
Tuhan
inilah tanyaku.
Tentang
riak-riak nadi.
Yang
mengundang air mata yang mati.
Sudut
detak yang mengalir, diiringi riuh mimpi.
Tuhan
inilah tanyaku
Tentang
asa yang membumbung menantang.
Asap
dari angan yang membungkus masa.
Bergerak
tanpa himpitan kekang.
Harapan
dari sekian daya yang datang.
Tuhan
inilah tanyaku,
Akan
luka yang membiru,
Kisah
pelik tentang pilu.
Napas
yang terhembus berupa ragu.
Akankah
aku dapat membuangnya tanpa menunggu?
Lalu
apa jawabMu?
8-4-16
. . .
(Tubuhku Miskin)
Dunia, Sang indah nan fana,
banyak iklim yang terhias mendalam.
Dengan bunga liar yang harum,
aroma cantiknya,
si nona miskin lewat,
dengan kaki tak berkasut,
tali putih di pinggang
dengan giat, ia mencari matahari pagi
Tubuh yg penuh sabar,
merangkul semua bahan,
dengan simpul senyuman ternilai,
Hidup miskin,
membuat diriku haus,
haus akan
kekayaan dunia
Aku sudah memilih hidup miskin,
tapi aku takut diriku melanggar cerita
aku tak tahu apa yg harus ku perbuat
Aku takut akan kata miskin yang gampang ku ucapkan.
hanya seperti mimpi malam, yg ku impikan di bawah angin
malam.
Aku takut kalau harus mengkhianati si miskin.
Namun aku percaya,
Hidup miskin
akan membawaku,
kepada dia yg memberikan kehidupan miskin ini bagiku.
Aku tak tahu.
Sampai kapan aku sanggup bertahan dengan hidup ini?
Harapku berkata, kekayaan dunia bukan segalanya.
Percaya,
Aku percaya,
Matahari akan bersinar
menyinari langkah kakiku
Ia membagi berkas cahaya.
Ia berbagi jejak pelita bagi jalanku kepada
jalan terang
Aku tetap kuat, Aku tetap berdiri tegak
Terus melangkah
dengan melawan perombakan kekayaan dunia,
yang mengisolasikan diriku,
dan dapat
membuat hatiku terikat padanya.
Herman Tilman
. . .
(Wanita)
Anggun tanpa harus gaun,
Bising tak ganggu hati yang hening,
Di muka apa adanya engkau ada,
Tutur enggan gugur, suara tak selalu dera.
Silakan dieja sekali lagi. Wa-ni-ta.
Di antara sukma yang tertata,
Padamu hening bertahta.
Rembulan pada kemeja,
Bagi mentari yang menari di tengah ramai kota.
Kapas yang melindungi panas baja,
Temaram bagi himpunan kemungkinan untuk karam.
Purnakan siku tak kenal laku,
Carilah ia di sebuah tempat dimana ia tersipu
malu,
Pagi bagi kedatangan para palu,
Disiarkan sinar, pada matamu tersimpan nanar.
Ejalah berulang kali. Wa-ni-ta
Batu itu dinamainya keyakinan.
Setara bukan lagi tentang permainan.
Komentar
Posting Komentar