Maafkan Rasa Kecewa
Tiada
hangat di antara lekat.
Segala
curiga menyeringai pada situasi dekat.
Melambunglah
impian yang dirimbuni sengat,
Pilihan
rasa untuk menamainya kecewa,
Maafkan
gelagat yang terlampau pekat.
.
. .
Tentang
sesuatu yang pada akhirnya kunamai luka.
Aku,
kini, ada di sana, bersamanya.
Tak
terhindarkan sudah kelabunya,
Tersayat
membekas, terbenam ketidaksiapannya.
Berulang
kali tidur, bukan menjadi obatnya,
Sekalipun
berbicara tentang dunia dan tawa,
Aku
bukan pembohong yang seenaknya melemparkan dilema.
Luka
ini, di sini, selalu mempertanyakan : bagaimana selanjutnya?
.
. .
Aku
tak ingin melihat, apa yang aku lihat.
Mataku
buta sesaat, aku sudah terlampau sesat.
Pikiranku
berhenti pada suatu liang jahat,
Aku
tahu ada yang sedang tidak sehat.
.
. .
Dari
balik puisi :
Jika
ditanya apakah Alfa pernah merasakan kecewa, jawabannya pasti iya. Kalau belum
pernah merasakan apa itu kecewa, aku mengajak kalian semua untuk melihat ke
arah kaki. Kaki kalian masih menapaki bumi kan? Berarti kalian pernah merasakan
apa itu kecewa. Kecewa, untukku, adalah perasaan yang tak terelakkan. Kecewa
bisa hadir saat kita tidak mendapati apa yang kita mau. Kecewa bisa hadir ketika
idealisme kita akan sesuatu tidak sesuai dengan keadaan senyatanya atau yang
kita harapkan. Kecewa adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi banget kok.
Terkadang, perasaan semacam ini terkesan berat dan bisa jadi kalian betah untuk
tidak tidur gara-gara memikirkan kekecewaan yang kalian terima. Setiap orang
punya caranya tersendiri untuk meredakan kekecewaan yang dirasakan. Aku secara
pribadi tidak bisa mendikte kalian untuk melakukan apa yang biasa aku terapkan.
Nah, untukku, salah satu kunci untuk (setidaknya meredakan) kekecewaan tersebut
adalah menerima dengan lapang dada. Susah! Iya! Ini nggak mudah! Penerimaan
atas seluruh rasa kecewa itu butuh proses dan aku mengembalikan proses ini
kepada kalian semua, dan aku percaya kalian pasti mampu berproses dengan rasa
kecewa yang pernah kalian terima. SEMANGAT TERUS!
Komentar
Posting Komentar