Menuliskan Rasa
Senjamu
Langitku
Kali ini kisahnya cukup berbeda
Disaat mataharimu layu, mentariku
membuka mata
Saat aku mengistirahatkan raga ini,
Kamu
menata hari dengan selembar rindu
Tapi jangan takut
Jarak bukan rintangan, ini hanya
soal rindu
Rindu yang belum menyempatkan waktu
untuk menghampiri temunya
Bukan salahmu jika merasa khawatir
Namun percayalah disini aku menata
hati
Menyimpan kemauan untuk mundur
Dan memulangkan rasa ini pada raga
yang tepat sesegera mungkin
Bawa aku pada semua imajinasimu
Agar aku tak merasa asing denganmu
Agar jarak yang terasa tak sejauh
yang dilihat
Dan yang tak terlihat mata, dapat
kugenggam nyaman
Karena yang dapat didekap belum
tentu yang tersayang,
dan
yang tak tersentuh bukan berarti terbuang
Trifena Katrina
. . .
Budak
Memiliki Kebebasannya
Penjara mengeringkanku.
Membinasakan setitikku.
Sesekali ia menikam,
Seolah bagian daripadaku selalu memendam.
Dalam riuh gelisah ini, tembok meneriakiku agar
lekas diam,
Ia memintaku agar tetap menjadi budak yang lebam,
Namun awan dari balik penjaraku takkan pernah legam.
Bebaskan aku
Yang menentukan adalah aku,
Kebebasan adalah kuburan bagiku,
Tepat di akhir kalimat ini, aku tertiup oleh angin
masa lalu.
Bebaskan aku
Kunci dari sangkar itu adalah aku,
Yang sampai saat ini belum mati terpaku,
Yang sampai saat ini memilih untuk mati menikmati
surgamu,
Sebelum hujatan itu menyirami sukmaku.
Alfa
Amorrista
Bara
(11 penulis)
Akhirnya, Aku sadari…
Aku ada karena engkau ada.
Ku rasakan karena engkau yang memberikan itu kepadaku
untuk rasakan, alami dan lalui.
Seperti bintang yang memeluk rembulan,
Malam tempat mereka beradu,
Dan aku tau, aku tak pernah sendirian.
Aku tak bisa berhenti mencintaimu.
Hidup adalah sebuah proses untuk menemukan dan
kehilangan.
Perjalanan yang paling sulit dan melelahkan,
Perjalanan menyusuri lorong hati.
Cinta itu membutuhkan pengorbanan.
Meski aku tak memiliki sejarah dalam pikiranku,
Meski aku tak memiliki hati untuk mencintai,
Tapi, setiap gerak dan langkahku, selalu terwujud
namamu.
Cintamu bagaikan hujan yang turun akhir-akhir ini.
Telah lama sekali ku nanti tak kunjung tiba.
Kini kau tiba dan tak kuasa aku menahannya,
Hingga cinta membanjiri relung hatiku.
Cinta itu penggugur selaput mata,
Hingga pandang tak mampu dipejam,
Kala sebersit siluetmu saja menyapa.
Jangan pernah mengatakan..
“Kamu cinta sejatiku…”
Jika belum pernah merasakan sakitnya dikhianati.
Ketika kamu mencintai seseorang,…
. . .
Hati
yang Mencari
Hati yang mencari.
Saat sarana telah pergi.
Tiada tempat untuk menepi.
Lautan sepi seolah tak bertepi
Hati yang mencari,
Menyumbat nadi.
Nurani yang tidak melangkah lagi.
Sendiri tiada jalan untuk pergi.
Konstantinus
Aji
. . .
Cinta
Penuh kesadaranmu.
Setulus membelai.
Pada mula cerita, dia ada.
Pandangan yang pertama.
Jumpa mata di antara kita yang tertawa.
Hanya sekilas yang penuh makna.
Bayangmu, wahai engkau yang mencintai jiwa,
Yang meraga dalam sukma.
Terbata ketika berkata.
Itulah ungkapan jiwa.
Malam ini, kita berbicara dengan rembulan.
Mencari dirimu, sang pujaan.
Malam ini, kita bercanda dengan gugus bintang,
Yang berbicara dalam nada-nada.
Hitam putih pada tubuh kita.
Lembayung semu yang tertata.
Asmara pelan bersuara.
Karena semua rasa bisa kita terima.
Bertanyalah kita pada udara : mungkinkah kita?
Kan bersatu di akhir cerita.
Terkadang, kita takut pada senja.
Yang menjelma jadi kabut malam.
Alfa dan Olaf
. . .
Domin
Nakonu ho saida mak o kompriende.
Ho laran luak hamaus.
Komesa istoria hahu, nia iha.
Primeira visto.
Ita hasoru malu nakonu ho hamnasa.
Liu deit maibe nakonu ho valor.
O nia lalatak, oh ita nebe mak hadomi klamar.
Nebe mak lha isin ho klamar.
Susar wainhira koalia.
Ne mak liafuan klamar.
Kalan ne, ita kualia hamutuk ho fulan
Buka o nia aan, oh domin wain.
Kalan ne, ita halimar ho modelo fitun.
Nebe koalia lha lian domin.
Mutin – metan lha ita nia isin.
Kondicao laiha forma cao nebe mak rapido.
Romantika neneik laiha lian.
Tamba sentiment hotu it abele simu.
Ita husu ba natureja bele ka ita?
Dalabarak, ita tauk hasoni kondicao loraik niam
Nebe mak nakfilak sai ba kalan.
Puisi
“Cinta” yang ditulis oleh Alfa dan Olaf,
diterjemahkan
ke dalam Bahasa Tetum – Portugis oleh Sr.Aloysia,OSF
. . .
Pikirku
Iri yang tak bertepi,
Percikan telah menjadi api.
Hanguskan rasa kebaikan hati.
Cara untuk senang yang dinanti.
Sang penentu,
Lebih jauh dari pikirku,
Lebih tahu dari yang ku tahu,
Isi saat di tanganMu.
Pasti di mataku,
Kelabu di hadapMu
Hancur menurutku
Sempurna di mataMu
Konstantinus
Aji
. . .
Menamai
Kehidupan
Hidup itu nano-nano, rame rasanya.
Manis, asam, asin.
Suka, duka… menambah cita rasa hidup,
yang sudah dihidangkan oleh Sang Tuannya hidup.
Suka menjatuhkan tawa dalam cerita.
Manusia tandai suka dengan karsa.
Di napasnya terletak suatu aroma.
Dinamainya aroma tanah dimana terang berbenah.
Mentarimu wahai waktu, menyebut detakmu tak ragu.
Duka karena luka,
Diredupkan dalam belukar tatapan tajam,
Diharapkanlah mati topeng yang legam.
Alfa
Amorrista dan Sr. Fransiska, ADM
. . .
Sungai
Menimang Air Matamu
Kau mengetuk pintu dan aku menyediakan pintu itu
bagimu. Pada pintuku, sungai menimang air matamu. Muara yang menjadikanmu
sebagai alasan, mengapa dunia menjatuhkan kisah itu padamu. Mengapa dunia
memilihmu?
Bibirmu tak terkatup. Hatimu tak tertutup. Kau masih
saja takjub pada suatu keajaiban yang tanpa sangka mewujud. Tepat pada hari ini
kau bersujud. Benakmu terkejut. Benakmu hanyut.
Angin sedang menghembusimu kencang. Kau tak berusaha
untuk lekang. Aku tahu keluhmu akan mengencang. Di hadapanmu hutan belantara
dengan pepohonan yang terbentang.
Tepat padamu lantai ini, dengan sebungkus nasi pada
tanganmu. Bersandar pula sebungkus lelah yang belum terlepas. Dimana setiap
kata mati itu terkelupas. Kau melepaskan inginmu untuk pergi dan menikmati
hunusan pedang dari ribuan musim dingin yang pernah ada.
Bertiaraplah engkau pada tiang-tiang binasa. Dimana
tarikan napasmu diperuntukkan bagi mereka. Dimana gerak langkahmu bukan lagi
berdasar pada kakimu. Dimana keringat itu kian menemukan muaranya. Pencarianmu
liar memburu, kau memaknai duri-duri perjalananmu.
30 Juli 2017
Alfa
Amorrista
. . .
Air,
Api : Mereka Menemukan Muara
Terkadang bagaikan api.
Kilau cahayanya mampu mengedipkan mata.
Tersambar di muka, akhirnya.
Ku terpana merasa sakitnya.
Teraba dan memar itu ada.
Terkadang pula bagaikan air.
Diam namun liar.
Perlahan membasahi sanubari.
Merindukan ujung, ujung air.
Tapi tak ada.
Mengalir tak henti. Ku pun menanti.
Setiap jiwa hanya bisa bertanya.
Kapan?
Kapan datangnya pelipur lara?
Suatu saat, percaya adalah muara.
Ya, muara yang memberi rinduku.
Muara bagi dahaga. Kita tentara percaya.
Percayalah
Alfa
Amorrista dan Ireneus Yongki Artha Pieter
. . .
Pesawatku
Mendarat / Meu Aviao Pousou
Bukan karena langit tak lagi biru
Nao
porque o ceu nao mais azul
Ini mauku
Esse
e o meu desejo
Aku ingin turun dan harus turun
Eu
quero ir para baixu e tenho que descer
Bukan karena sayapku tak gagah
Nao
porque minhas asas nao falharam
Aku ingin mematahkannya
Eu
querro quebrar isso
Di hadapanmu, aku ingin menaruhnya tanpa marah
Na
frente de voce eu quero coloca-lo sem vermeiho
Bukan karena pilotku tak pandai
Nao
porque meu piloto fosse esparto
Aku memintanya menurunkanku
Eu
pedi a ele para me deixar
Menaruhku di lembah, mengizinkanku mencium tanah
Coloque-me
no vale, deixe-me beijau o chao
Alfa
Amorrista
Penerjemah
: Sr. Aloysia, OSF
. . .
…..
#TentukanJudulnyaSendiri
Sebuah langkah di rerumputan.
Sepasang kaki terus berlari menembus mimpi.
Mata menelanjangi langit-langit.
Berhenti, membuat realita menjadi fiksi.
Apakah aku harus menidurkannya lagi?
Waktu, siap menikam setiap hari.
Tuhan, adilkah?
Siapkah hati melihat yang berpijak di bumi?
Ucapmu liar di bumbungan semesta.
Pergi dan tak mungkin kembali.
10 Oktober 2017
Konstantinus
Aji dan Alfa Amorrista
. . .
Izinkan
Aku Mengenakan Sepatumu
Keluh diseduh.
Sesekali disentuh oleh tutur yang teduh,
Daripadamu senyum itu terlahir karena luluh.
Ditiupkannya ragu agar ia pergi, matilah sendu yang
keruh.
Ditahan langkah ini siang dan malam hari,
Menidurkan telingaku pada tempat tidur yang
membutuhkan mimpi.
Tempat meletakkan kepala. Tempat yang memperbolehkanmu
menelan harap,
Persimpangan antara dunia dan janjinya pada setiap
karsa.
Liang itu akan kututupi.
Karam pada setiap luka itu kuyakini akan menepi.
Mata rantai pada kelopak matamu berangsur mati,
Mawar dan melati akan bersukma memperbaiki.
Izinkan aku mengenakan sepatumu,
Yang hitam takkan menjadi biru,
Tanganku disini, kakiku disini, jantungku disini,
Meniadakan diriku sendiri tak mungkin,
Memasukinya kugunakan kata permisi.
29 Desember 2017
Alfa
Amorrista
. . .
Genggam
Tangannya, Tuhan
Tuhan, jaga dia
Dalam semua kemungkinannya.
Dalam segala ketidakmungkinannya.
Dalam tindak hidupnya,
Dalam denyut ingatannya.
Genggam tangannya.
Rengkuh palungnya,
Dikala bibirnya tak sanggup untuk membela,
Dikala jiwanya begitu lemah karena kayanya pertanda.
Seutuhnya, Tuhan.
Sepenuhnya, Tuhan.
Dalam setiap rasa yang bernaung padanya,
Dalam hembus napas yang hidup karenanya,
Jaga dia yang terkadang membisu tanpa kata,
Pancarkan padanya sebuah cinta yang sempurna.
Kuatkan sejatinya.
Legakan risaunya.
Hanya itu yang aku minta.
Alfa
Amorrista
nice, salam puisi
BalasHapus