Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Terserah

Gambar
Mulai sekarang, aku membatu. Ajari aku agar tak dipecah oleh laut biru, Tepikan aku dari terpaan ombak palsu, Tepat padamu, hanya padamu, aku riuh menderu dan selalu ingin tahu. Mulai sekarang, aku membatu. Tak ingin lagi, waktu jadi sasaran makiku. Harimau pada mulut itu, geram pada sisi sikapmu, Jadi pilihanku dalam laku dan tata tuturku. Mulai sekarang, aku membatu. Hilang sabarku tak menutup hatiku, Dari balik tanda tanya yang berlaku, Kau takkan berlalu. 

Terbiasa

Gambar
Air muka dari balik lembah duka, Bersuara tanpa cela. Harta segala pertanda dan luka yang membiakkannya. Amarah dari jiwa yang berdarah, Janji pada firasat yang bernyawa. Inilah aku, yang terkadang berupa debu Senyapmu yang bisa jadi mencipta kelu. 6 Agustus 2017

Mendekat

Gambar
Aku berjalan, kau tak berjalan. Aku di jalanan. Kamu di atas jalanan. Aku di atas jalanan. Kamu ada di atas jalanan. Takutlah kata-kata. Meragu di awal mula. Apa bisa? Aku mencoba mengingat jalanan. Aku mencoba mengingatmu yang bernaung di atas jalanan. Sekali lagi. Apa bisa? Apa bisa mendekat? Aku belajar meneliti jalanan, Jalanan dan perjalanan, Dimana angin membius setiap kekuatan. Dimana memaki keadaan bukan sepenggal ingatan. Dimana menyadari tak butuh rumusan. Waktu ini mengakrabi ruang nyata kehidupan. Alfa Amorrista | 13 Juni 2017

Lima Ratus Ribu Rupiah

Gambar
Ibu pernah memberikanku uang lima ratus ribu ketika aku duduk di bangku SMA. Uang itu digunakan untuk membayar SPP. “Ini uang untuk bayar SPP…” Saat menerimanya, aku bertanya “mengapa?” Pertanyaan “mengapa” menggerakkan roda sepedaku menghantam jalanan. Pertanyaan “mengapa” menjadi napas yang memburu, air mataku bukan air mata keliru. Jalanan pagi ini kusirami dengan air mata. “Besok mau makan pakai apa?” “Apa ini uang terakhir yang ibu punya?” Tanya adalah air mata. Jalanan ini saksi dari setiap tanya dan asa. 30 Juli 2017

Teman Yang Belum Kau Kenal

Gambar
Perspektif beradu aktif. Berperanlah kata, cerita, berita, dunia dan warna. Jangan tamatkan kenyataan, Jangan butakan setiap keyakinan. Rasa dalam lingkup gusar, patahlah kata suka. Mata dalam ruang keliru, remuklah ruang bahagia. Mohonkanlah pada tatapan yang sepatutnya menatap, Suatu harapan untuk meminang laku, memahami liuk sang waktu. Timbanglah jutaan sentuhan pada setiap luka, setiap pertanda yang meraba. Dia yang belum kau kenal. Dia yang masih menjadi jaring kumal. Akhiri setiap duga yang membui. Akhiri mimpi yang bersangkar pada benci.

Tak Lantang Padamu

Gambar
Artikanlah bisikan rerumputan, yang tersapu keributan angin liar di tanah lapang, yang meluputkan ruang takut akan lebatnya lapang, dimana lengang dari sungai dan lautan menjadi tempat. Bisikan rerumputan menggelengkan koar. Bisiknya tak bertanding secara liar. Bisikan itu perkara nalar. Bisikan takkan lantang padamu asal kamu tahu. Bisa jadi ia bersembunyi dalam lukisan, Menyuarakan bisikan dengan tanda dan nyawa. Dengan api dan luka lama, Dengan belati yang takkan lama. Rerumputan berpikir dan ia takkan berlari, Sampai mimpi menjadi-jadi. Artikanlah bisikan rerumputan yang menangisi bumi. Artikanlah seruannya yang bahkan membidangi sejarah dimana ia menanti. 27-6-2017

Kata Lampau Pada Diri Kita

Gambar
Lembaran itu diisi dengan ketakutan. Dengan cinta yang kau temukan terbagi. Dengan luka dan air mata yang mendiami rumahmu waktu itu. Dengan birunya udara kala mata ditelanjangi oleh rasa. Lembaran itu diikat oleh belas kasihan. Dengan detak jantung yang hampir dimatikan. Dengan minuman keras dalam genggaman, luka yang memendam. Bersama birunya kenyataan, kala hati menerima ribuan belati. Lembaran itu diikat oleh duga. Dengan amarah yang berdiam dalam sebuah kawah Dimana ketiadaan menjadi riak nyata, Bunga yang bukan lagi menjadi buah dari setiap mimpi kita, Selamanya. 1 Agustus 2017

Sungai Menimang Air Matamu (from a dialogue)

Gambar
Kau mengetuk pintu dan aku menyediakan pintu itu bagimu. Pada pintuku, sungai menimang air matamu. Muara yang menjadikanmu sebagai alasan, mengapa dunia menjatuhkan kisah itu padamu. Mengapa dunia memilihmu? Bibirmu tak terkatup. Hatimu tak tertutup. Kau masih saja takjub pada suatu keajaiban yang tanpa sangka mewujud. Tepat pada hari ini kau bersujud. Benakmu terkejut. Benakmu hanyut. Angin sedang menghembusimu kencang. Kau tak berusaha untuk lekang. Aku tahu keluhmu akan mengencang. Di hadapanmu hutan belantara dengan pepohonan yang terbentang. Tepat padamu lantai ini, dengan sebungkus nasi pada tanganmu. Bersandar pula sebungkus lelah yang belum terlepas. Dimana setiap kata mati itu terkelupas. Kau melepaskan inginmu untuk pergi dan menikmati hunusan pedang dari ribuan musim dingin yang pernah ada. Bertiaraplah engkau pada tiang-tiang binasa. Dimana tarikan napasmu diperuntukkan bagi mereka. Dimana gerak langkahmu bukan lagi berdasar pada kakimu. Dimana keringat itu kia

Kadang, Aku Tak Mendapat Jawabannya

Gambar
Merangkak di tengah hutan, Sesak tak juga menuai tambatan. Meneriakimu di antara dedaunan, jawaban… Wajah alam mengelakkan adamu di antara dahan. Dijemputnya aku oleh lubuk laut, Turunlah aku padamu, namun palungmu tak mau. Pada hujan aku menangisimu, acuh jadi acuanmu. Dari balik sang surya, rembulan membiakkan tawa dan aku bertanya, ada apa? Tanya itu mempertahankan aku. Menyulut bungkamnya pertanda yang buta, Uraikan aku dengan peluh yang mempertahankanmu hingga mati rasa, Sudah kutanamkan duga yang membuat sumur-sumur menganga, Dimana terkadang engkau ada, tiada dan mati rasa. 21:03, Seminari Tinggi, 14 Agustus 2017

Aku Membawakanmu Sebuah Rumah

Gambar
Aku bukan hanya kepalaku. Dan bukan cuma telingaku. Aku bukan kakiku, atau mataku atau rambutku atau hidungku. Abaikan seluruh permukaan laut yang ada pada bola matamu. Di rumah inilah, oasismu terbebas dari belenggu. Saatnya membuka sebuah kartu. Akankah lembah itu nampak pada liang-liang pikirmu? Akankah akar-akar itu mau menjalar pada kesempatanmu? Jangan lagi kau dapati pohon itu bertengger pada kepalaku. Jangan lagi kau temui api yang bukan dari sang api. Saatnya menghujanimu dengan teka-tekiku. 21-6-17

Udara Pada Setiap Cerita

Gambar
Lorong ini penuh dengan lukisan. Akulah pelukisnya. Lukisan-lukisan itu memuat udara. Membingkai udara, lukisan-lukisan itu disebut benda hidup. Jantung dari kumpulan problema. Aku menunggu gerak nadi merangkai mimpi. Menunggu hujaman sang waktu. Menunggu hingga aku binasa. Wajah alam meliuk-liuk menandai ruang dan suasana. Pertengkaran tiap sudut prakarsa, Diantarnya aku pada liang dilema, Gencatan asmara tawa dan air mata, Digariskannya luka dan pembasmi luka, Dihamparkannya napas pada sukmanya, Aroma dari peradaban ada, dan mungkin tiada. Seminari Kentungan, 6 Agustus 2017

Teman

Gambar
Bahu cerita. Telinga pencerna. Ruang laku, tutur tanpa tipu. Dimana liarku tak jadi lautan pilu Jadilah aku batu dan jadilah engkau kapas bagi kepalaku. Pagar bagi bidang relungku. Tanah bagi hujanku pagi ini dan sore nanti. Atau bunga dalam duriku. Warna sebagai cerminku. Melulu disitu, janganlah berlalu. Api dalam pikirmu. Lilin itu tubuhku. Sungai pada matamu. Gelas-gelas rapuh pada tanganku. Dari balik pintu yang bertengger disitu, Dari balik gambar diri dan mimik pada keluhmu Tetaplah disitu. Alfa Amorrista, 12-6-2017, Kentungan