Bintang yang Benar (a short story)
"Istirahatlah
dulu, Haksa. Kamu tampak begitu kelelahan kan setelah memanen padi dari pagi
sampai sore? Aku memberi izin kalau hari ini kamu tidak mengikuti les baca
tulis dulu..." ucap Lintang sembari menepuk-nepuk bahuku yang telah lama
menegar melawan terik matahari yang menyengat dan menemaniku mencabuti
padi-padi yang telah menguning dan siap mengalami proses hingga menjadi beras,
lalu dijual ke pasar. "Kamu tidak akan berkonsentrasi dalam belajar kalau
keadaan tubuhmu tidak mendukung. Lebih baik kamu pulang.Kamu istirahat
sepuasnya. Besok sore kamu kemari lagi..." sambungnya seraya tersenyum
lepas, memberiku gambaran yang sempurna mengenai perempuan cerdas yang kini
duduk berdampingan denganku.
"Aku
masih kuat untuk belajar, Lintang. Kamu tenang saja. Lagipula, keberadaan kamu
disini kan hanya tiga bulan saja. Jadi, aku harus taat dan selalu datang kemari
untuk belajar baca tulis.Aku harus bisa menyerap ilmu dari kamu. Aku juga ingin
sepandai orang kantoran yang pakai jas necis di kantor-kantor besar..."
sanggahku, tidak mengindahkan saran dari Lintang.
"Tapi
Haksa -"
"Lintang,
aku mau belajar. Tolong, izinkan aku untuk belajar. Malam ini hingga esok, aku
punya waktu untuk tidur. Kamu tidak usah khawatir dengan keadaanku..."
Lintang tampak menyerah karena ucapanku. Gigih bermimpi menjadi orang kantoran,
aku berusaha menyerap ilmu demi ilmu yang dibagikan oleh perempuan muda berusia
22 tahun itu untuk merealisasikan mimpi tersebut, bukan hanya berhenti pada
kata, tapi juga tindakan nyata.
"Oke.Aku
mengizinkanmu.Tapi, jika kamu merasa mengantuk atau kelelahan, kamu boleh
pulang...." tanpa banyak komentar, aku langsung memberi dua jempol kepada
calon guru satu ini, calon guru yang mengabdikan dirinya bagi masyarakat dengan
kepenuhan diri dan jiwanya.
"Ya
sudah... ayo kita belajar!" ajaknya seraya menyuguhkan senyuman singkat.
Ω
Aku
terduduk di bangku paling belakang bersama Mak Suminah dan Pak Halil. Tanpa
menyerah dua manusia setengah baya yang duduk di samping kanan dan kiriku itu
tampak bersemangat dengan penjelasan digelontorkan oleh Lintang sejak empat
puluh lima menit lalu. Hari ini, Lintang memberikan materi yang berbeda.Hari
kamis lalu, Lintang memberi materi bacaan singkat sebanyak empat baris. Pada waktu
ini, ia memberi kami tantangan membaca bacaan beruntun sebanyak sepuluh baris.
Dari hari ke hari, ia membawa ilmu yang kian berkembang dan tidak berjalan di
tempat. Aku merasa begitu senang memiliki pembimbing belajar sepertinya.
Ketulusannya
sungguh tertata secara rapi, terlukis secara nyata lewat tutur katanya, tatapan
matanya, gerak tubuhnya serta mimik wajahnya. Tentu saja, rasa senang tidak
hanya dialami olehku, tapi juga Mak Suminah, Pak Halil dan masyarakat lain yang
bergabung dalam grup belajar ini. Tidak mungkin mereka akan sebetah ini, duduk
satu jam di bangku paling belakang, berkutat dengan sebuah buku skrip dan pena
kalau bukan karena terkesan akan penjelasan dari Lintang serta didukung atas
ketertarikan mereka akan proses belajar yang ternyata amat menyenangkan.
Enam
puluh menit berlalu. Waktu belajar usai sudah. Selesai membereskan buku-buku dan
alat tulis yang tersebar di meja, Lintang yang mendapatiku masih terduduk di
bangku paling belakang bergegas mendatangiku dengan senyum panjang.
"Kamu
tidak langsung pulang kan?" tanyaku sembari berdiri dari bangku dan
mengajak Lintang keluar dari ruang kelas. Mendapati pertanyaan tersebut,
Lintang bergegas menggeleng-gelengkan kepala
"Temani
aku sebentar, ya?"
"Kemana?"Lintang
tampak ingin tahu.
"Suatu
tempat.."
Mendapati
teka-teki tersebut, Lintang hanya menurut saja tanpa bertanya lebih lanjut.
Ω
Ruang
itu tidak beratapkan seng. Ruang itu tak dihiasi oleh tembok-tembok yang
kokoh. Ruang itu gelap, tempat memiliki secerca terang. Ruang itu ditempati oleh
dua manusia, aku dan Lintang. Ruang itu beralaskan rumpult-rumput liar. Ruang itu
beratapkan tahta langit.Awan kelam bergumpal, membujur dari segala arah mata
angin. Di antara gumpalan-gumpalan gelap itu beredar ratusan buah benda. Benda
itu kecil, namun merupakan cerminan jati diri.
Pada
benda itu, tatapan Lintang seolah begitu lekat. Pada benda itu, reaksi tak biasa
hadir daripadanya. Pada benda itu, Lintang luluh. Bintang telah membuatnya jatuh
hati.
Sesekali,
ketika posisi kami terasa begitu ideal dan berusaha mengistirahatkan tubuh
beralaskan rerumputan, aku mencoba membaca sudut mata itu. Ada kekaguman di
dalamnya. Lapangan luas dengan rerumputan lembut dan beratapkan tata bintang
sungguh membuatku dan Lintang lupa waktu. Di lapangan itu, penerangan tidaklah
banyak. Hanya dua lampu neon di dekat gawang dan tiang lampu di dekat pohon jati
yang tinggi menjulang memecah udara. Sumber dari penerangan lebih banyak tertuju
pada bintang. Bintang mengupayakan seberkas cahaya bagi kami berdua. Awan kelam
tak berani membelah keindahannya.
"Setiap
malam, kalau aku nggak bisa tidur, aku selalu datang kemari. Tata bintang yang
dilihat dari tengah lapangan memang jauh lebih indah daripada jika dilihat dari
dekat rumah. Tata bintangnya lebih luas..aku bisa lebih puas ketika melihatnya..."
ucapku diikuti seberkas cahaya kecil yang berasal dari senyuman Lintang,
perempuan yang sedari tadi terdiam dalam kekaguman.
"Terima
kasih ya sudah mau mengajakku kemari. Kamu adalah orang pertama yang mengajakku
melihat bintang. Sebelumnya belum ada seorangpun.Ternyata dan ternyata, aku
nggak butuh tempat yang bagus untuk menatapi sesuatu yang indah.Ya... aku hanya
butuh tempat ini, tata bintang yang berada mengatapiku dan juga kamu..."
sayup-sayup kala dadaku merasa sesak, Lintang semakin membuat ruangan ini
menjadi lebih sempit dan sesak. Sesuatu menghimpit dadaku.Sesuatu membuatku
kaku. Tidak lain dan tidak bukan adalah rasa itu. "Haksa, aku boleh
bertanya sesuatu?" anggukanku menjadi tanda persetujuan yang membuat
Lintang tersenyum tanpa dibebani oleh ragu."Siapakah sosok bintang dalam
hidupmu?" pertanyaanmu itu membuatku kelu.Aku tak mungkin menyodorkan
jawaban palsu. Detik demi detik terus menerus memaksaku untuk menjawab
pertanyaan itu. Jika pertanyaan itu hadir tanpa ragu daripadanya, jawabankulah
yang akan menyimpan ragu, menyimpan sesuatu yang hanya bisa tersembunyi
daripadanya.
"Jika
pertanyaan itu tidak bisa terjawab bagaimana?" mendengar tiap kata yang
tersusun daripadaku, Lintang hanya bisa terdiam, menatapku begitu lekat dan
menyunggingkan senyum beberapa saat."Jika orang itu tidak pernah menyadari
bahwa ia adalah bintang yang sejati, bintang yang benar, bagaimana?" kali
ini, Lintang memutuskan untuk kembali memandangi langit luas.
"Bantu
orang itu untuk menyadarinya, Haksa. Dengan segala cara. Dengan caramu
sendiri..cara yang paling tepat..." Lintang membuatku bungkam.Perempuan
itu menyumpal mulutku dengan tiap kata yang menyiksa, membuatku terjatuh dalam
rasa yang makin tak biasa, impian-impian yang tumbuh begitu nyata. Segalanya
akibat perempuan itu. "Haksa, sepertinya aku harus pulang. Masih banyak
pekerjaan yang harus kutuntaskan malam ini" ungkap Lintang sembari berdiri
dari alas tidurnya dan tak berhenti menatapi Haksa yang tak pernah jenuh
menatapi langit luas. "Semoga kamu bisa menemukan cara untuk menyadarkan
seseorang itu ya..." Tiap kata yang telah tersampaikan itu mengiringi
kepergian Lintang.
Berlalunya
perempuan itu diiringi oleh tatapan yang datang daripadaku. Kepergiannya
menyisakan bayangan demi bayangan yang tak mampu termakan oleh sergapan
malam. Kepergiannya memacuku untuk tetap terpaku. Aku ingin tetap menikmati
keindahan tata bintang yang melintang dari timur ke barat. Aku ingin tetap
menikmati tiap-tiap buahnya, satu demi satu hingga keperluanku telah terpenuhi,
sembari menggali sebuah cara yang mampu menyadarkan seseorang itu bahwa ialah
bintang yang benar. Ia memang tidak tinggal di sudut langit. Ya... ia tinggal
di suatu sudut yang tak terjamah olehnya. Hati.
Ω
Perempuan
itu terdiam. Aku juga terdiam. Kami sepakat untuk lebih fokus menatapi langit.Ya…kami
memutuskan untuk kembali menjadi penikmat dari tata bintang. Malam ini, ribuan
bintang menerangi cakrawala. Tiap buahnya memberikan energi yang menyingkirkan
kekelaman di muka langit. Tiap buahnya menemani sang rembulan yang membentangkan
warna keemasan. Tiap buahnya mendampingi dua orang manusia yang kini kembali
tertidur beralaskan rerumputan lembut, yang kian tergoda pada sapaan halus sang
angin.
"Apa
kamu sudah menemukan cara yang paling baik untuk memberitahu seseorang yang kamu
sebut itu bahwa ia adalah bintang yang benar?" di kala hawa dingin
menyeruak dan merasuk pada dinding-dinding tulang rusuk, Lintang berhasil
membekukan seluruh perisai dalam tubuhku itu dengan pertanyaan yang memacuku
untuk menyerahkan sesuatu yang terpendam lama. Aku telah memendam rasa pada
bintang itu. Aku menyadari itu.Aku mencintai bintang itu.
"Sudah..."
jawabku singkat sembari bangun dari rerumputan dan memeluk lututku sekencang
mungkin karena angin berhembus lebat. "Aku sudah memutuskan cara yang
paling tepat untuk berbicara dan mengungkapkan sesuatu pada bintang yang
benar..." tak betah berlama-lama tertidur di atas rumput, Lintang
menyusulku memeluk lutut.
"Aku
tahu bahwa kamu punya cara untuk mengungkapkannya pada seseorang itu,
Haksa.." sesuatu memacuku karena tiap kata itu. Ruangan yang semula tampak
begitu longgar, kini makin menyempit. Dadaku mulai sesak. Namun, akibat kesesakan
itu, aku berani menyatakan sesuatu pada bintang yang benar melalui beberapa
benda yang kubawa. Benda-benda itu bergerak. Tarian mereka begitu indah. Tarian
yang elok dari kedua benda yang terlahir dari kayu. Aku mengungkapkannya dalam
gelap, kala angin meredam kekuatannya, hingga kelembutannya merona menghiasi
sang waktu.
Tak
perlu berlama-lama bagiku untuk menikmati tarian itu. Aku merasa cukup puas.Aku
cukup bangga. Kebanggaan itu memacuku memandangi langit. Diantara susunan tata
bintang, kelembutan udara, kelamnya awan dan gemilangnya rembulan, tanganku
mengibaskan sesuatu.
"Kamu
harus melihat bagaimana aku mengungkapkan seluruh rasa ini pada bintang yang
benar..." ucapku membujur ketika Lintang mulai menatap ke arah benda yang
kukibas-kibaskan ke udara, kala aku menyorotkan seberkas sinar dari senter yang
kubawa ke arah kibasan itu. Akibat tiap berkasnya, muncullah tiap-tiap kata.
Tepatnya lima kata. Lima buah kata itu membuat Lintang terdiam. Lintang tampak
takjub.Ia tak henti menatapi benda yang kukibas-kibaskan itu. Benda yang
melahirkan kata.Bintang yang benar adalah kamu.
Lama
sorotan cahaya itu menggilas kelam. Saksi dari ungkapan ini adalah sang malam.
"Aku
sedang jatuh cinta" Lintang memalingkan tatapannya dari kibasan itu lalu
kembali memeluk lutut seerat mungkin. "Aku sedang jatuh cinta pada
seseorang yang kusebut bintang yang benar" Lintang semakin memeluk erat
tubuhnya sembari bertanya pada bintang. "Seseorang itu adalah
Lintang..."
Lintang
membujurkan kedua bola matanya kepada bintang.
FIN
Pict : http://www.4usky.com
Komentar
Posting Komentar