Kisah Sehari (a short story)
Jakarta,
20 Juni 2012
Mentari menyapa dengan teriknya yang berkilauan. Aska yang tengah siap dengan
petualangan fotografinya mendadak melompat dari tempat tidur dan bergegas
menatap ke arah jendela. Angin semilir menyeruak ke dalam kamarnya. Dilihatnya
seorang laki-laki yang tengah berdiri di luar jendela kamarnya, memberikan
sebentuk senyum cerah. Saat itu juga ia mengetahui bahwa Kelvin tengah
menunggunya. Kedua manusia itu akan melakukan sebuah penjelajahan fotografi.
Sebuah petualangan yang kerap kali dilakukan setiap hari minggu dan selalu
mencari objek terpencil dan jauh dari kesan mewah. Bagi keduanya, mencari
sebuah objek terpencil adalah sebuah investasi besar untuk koleksi fotografi
mereka.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Aska menyambangi Kelvin yang terduduk di teras
dengan kamera SLR yang ditenteng di lehernya. Melihat Aska yang masih
berantakan dengan rambutnya yang kurang tertata, Kelvin hanya dapat termangu
tanpa berkomentar sepatah katapun. Ia terlalu hafal dengan kebiasaan Aska yang
kerap bangun kesiangan. “ Sorry ya, Vin.
Gue bangun kesiangan. Soalnya, semalem gue sibuk hunting foto bareng anak-anak
club..” Dengan wajah polos, Kelvin mengiyakan alasan Aska yang terlampau masuk
akal. “By the way, kita bisa berangkat
sekarang, kan..?” Anggukan yang dilancarkan oleh Kelvin begitu menandakan bahwa
laki-laki itu siap meladeni kemauan Aska untuk menjelajahi tempat terpencil di
Bali untuk mendapatkan koleksi foto terbaru dari hobinya tersebut. Rencananya,
kedua manusia itu pergi ke Bali menggunakan pesawat dengan jam penerbangan
pukul setengah sepuluh pagi.
Perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta mereka lewati dengan senda gurau yang
tiada habisnya. Terkadang, mereka membahas hal paling absurd dan segala macam peristiwa bodoh yang
sempat dialami oleh masing-masing pribadi. Hingga pada waktu yang telah
ditentukan, dekapan tangan Kelvin mampu mencengangkan hati Aska yang kala itu
tampak begitu bergembira setelah kejadian pedih dalam perjalanan hidupnya,
yakni kehilangan sosok seorang ibu dalam hidupnya akibat tragedi pembunuhan
yang tragis. Dengan penuh perhatian, Kelvin mulai mengajak Aska untuk berpaling
dari kesedihan terdalamnya lalu memberikan sebuah pengalaman traveling dan
hunting foto yang begitu berkesan bagi perempuan yang diidam-idamkannya itu.
“Ada yang mau gua tanyain sama lo..” Dengan air muka yang tengah berubah, Aska
mencoba menatap mata laki-laki dihadapannya dengan seksama, membaca seluruh
pertanda yang muncul beriringan ketika Kelvin mengajaknya untuk berpikir
serius. “Lo udah sempat lihat CCTV saat nyokap lo terbunuh ?” Mendengar
pertanyaan yang terlampau liar dalam otaknya membuat Aska mencoba mengurangi
cuplikan senyum di pipinya serta melepaskan dekapan tangan Kelvin dari
jemari-jemarinya.
“Gue nggak sanggup, Vin. Bahkan untuk datang ke makamnyapun, gue masih
menyangkal hati nurani. Gue nggak bisa kalau harus menganggap dia sudah
meninggal. Tragedi itu kayak peristiwa paling absurd yang pernah gue alami dalam perjalanan hidup yang serba
sempit kayak gini…”
Aska yang tengah
mencoba menegar tak dapat lagi menahan air mata yang memenuhi kelopak matanya.
Gumpalan kesedihan membubung kembali di otaknya. Sebuah pelukan dari Kelvin
mampu menghangatkan perasaan yang semula teramat kacau. “Gue nggak mau jatuh
dalam kesedihan. Sekarang, hidup gue hanya untuk bokap gue, fotografi dan
persahabatan kita…” Cuplikan senyum itu mulai muncul dibalik ketegaran hati
Aska yang menguat setelah kehilangan sosok yang diidamkan dalam perjalanan
hidupnya. Taksi yang mendadak berhenti mendadak tengah memberitahu mereka bahwa
waktu untuk bersenang-senang dengan dunia kecil telah tiba di depan mata.
Inilah waktunya untuk melepas kepenatan dan menjadikan Bali sebagai tempat
paling indah dan menyenangkan serta media pelarian masalah bagi Aska.
Denpasar,
21 Juni 2012
Pesona Bali yang tidak tergantikan membuat Aska memisahkan diri dari Kelvin.
Laki-laki penjaga yang kerap kali berada bersamanya saat senang maupun sedih
itu memutuskan untuk pergi ke Ubud dan menjelajahi pesona perempuan-perempuan
Bali yang anggun dengan adat istiadat yang amat kental dengan kekhasan agama
Hindunya. Dengan langkah bersemangat, Aska memutuskan untuk pergi ke sebuah
pantai yang agaknya sedikit terpencil. Jiwanya berkeinginan untuk melangkah ke
Pantai Geger dan melihat pesona lautnya yang eksotis. Dengan kendaraan umum
yang melintas menuju Nusa Dua, Aska memulai petualangannya menuju objek yang
telah dibidik sebagai tempat pemenuhan hasrat fotografinya.
Letak Pantai Geger yang berada dekat dengan Golf Nusa Dua membuat Aska ingin
menumpahkan seluruh hasratnya untuk mengambil gambar. Kamera SLR yang berkalung
di lehernya seakan berbisik kepadanya untuk segera mengambil pose yang terbaik
untuk koleksi foto yang akan dicetak dan ditempelnya di dinding kamar.
Perjalanan pertama kali yang dilancarkannya kali ini ia mulai dengan memotret
bule-bule yang sibuk berjemur, kemudian sesekali menatap lautan yang terhempas
oleh angin yang berhembus kencang. Aska menyalurkan seluruh kemampuannya untuk
membidik partikel-partikel objek yang dilihatnya.
Awan bergerak membentuk gumpalan-gumpalan kebahagiaan dalam hatinya. Terlebih
ketika ia menemukan seorang laki-laki tegap yang terduduk di pasir sambil
menatap ke arah lautan lepas. Sesekali, Aska memotretnya dengan sengaja. Entah
mengapa, saat menatap wajah tampan itu, ia ingin sekali mengabadikannya lalu
memajang foto laki-laki tersebut dengan kertas foto yang jauh lebih besar.
Merasa kerap menjadi sasaran bidikan, tak sengaja laki-laki itu menegurnya
dengan halus.
“Kamu lagi memfoto
saya ?” seruan laki-laki berbadan atletis itu membuat Aska tergugah dan
mendekat ke arahnya. Entah mengapa, hati kecilnya telah mengajak untuk
merasakan getaran yang berbeda
“Maaf kalau aku mengganggu…” Ujar Aska sembari terduduk di samping
laki-laki tersebut. “Aku nggak bermaksud lancang. Cuma, jarang aja ada
laki-laki yang mau meluangkan separuh waktu dalam hidupnya untuk merenung di
pantai seindah ini. Dan laki-laki itu cuma kamu…” sambungnya seraya memainkan
partikel-partikel pasir yang menggunung. “Aku mengambil foto kamu dari satu jam
yang lalu. Kenapa kamu betah banget sih disini ?” Mendengar pertanyaan itu,
laki-laki di sampingnya hanya memamerkan seutas senyum.
“Saya pergi ke pantai ini untuk menghapus dosa-dosa saya…” jawab laki-laki itu
pada Aska sembari mengambil napas panjang dan bergegas menghembuskannya
perlahan. “Sudah terlalu banyak hal yang membuat saya kotor. Maka dari itu,
saya kemari…” lanjutnya dengan penuh kepasrahan.
“Sebelum kamu mencoba untuk menghapus dosa-dosa kamupun, Tuhan udah pasti
memaafkan kamu kok…” sahut Aska dengan penuh kebijakan. “O..iya, kita belum
sempat kenalan. Aku Aska. Kalau kamu ?” tukasnya sambil menjabatkan tangan pada
laki-laki di sampingnya.
“Hai. Saya Kenda. Senang berkenalan sama kamu” Semilir angin membawa keduanya
pada hempasan aneh. Tak habisnya Aska menatap Kenda yang makin lama semakin
memikat hatinya entah mengapa. Perasaan-perasaan itu mulai tumbuh dengan
sendirinya, tanpa tahu alasan dan maksud terpendam dari hatinya tersebut.
“Ngomong-ngomong, ada keperluan apa kamu ke Bali ? Acara liburan atau –“
“Nggak, bukan acara liburan kok. Bagiku, pergi ke Bali adalah tujuan yang pas
sebagai media pelarian untuk melepaskan kepenatan dan masalah yang aku hadapi
sekarang ini…” Tiap-tiap ucapan yang dilontarkan oleh Aska membuat Kenda tak
mau lepas dari tatapan perempuan berambut panjang yang kini sedang asyik
berkisah tentang alasan pelariannya menuju Pulan Dewata tersebut. “Apalagi,
semenjak ibuku meninggal sekitar sebulan yang lalu. Untukku, meninggalnya ibu
adalah peristiwa yang paling membekas dalam hidupku, Ken..” Air mata kembali
berlinang. Kenda yang kala itu tengah siap dengan kain di telapak tangannya
cepat-cepat menghapuskan air mata Aska yang menggumpal di kelopak matanya.
“Ibu kamu meninggal karena apa, Ka ?” tanya Kenda dengan wajah polos.
“Ibu meninggal karena dibunuh orang ketika dia sedang bekerja. Entah kenapa,
aku pengen banget memutuskan leher laki-laki yang sudah membunuh ibu. Tapi, apa
daya. Aku nggak juga menemukan orang itu. Bahkan, hanya sebatas melihat CCTV
saat kejadian itu terjadi, aku juga nggak mampu, Ken…” Matahari di ujung pantai
terlihat lebih indah. Petang menyapa, menambah kehangatan diantara keduanya
yang tampak makin dekat. “Maka dari itu, aku kemari. Berlari dan nggak mau
menangis lagi, meskipun air mata ini bakalan jatuh waktu aku inget ibu yang
selama 19 tahun ada di dalam hidup aku”
Dengan hembusan napas panjang, Kenda kembali berujar. “Saya turut berdukacita
atas meninggalnya ibu kamu ya, Ka. Saya yakin, kamu adalah perempuan muda yang
tegar dan bisa menjalani hidup dengan seluruh daya yang kamu bisa…” Air mata
itu terpaksa terjatuh untuk kesekian kalinya. Aska yang kala itu penuh dengan
kepiluan mendadak menyandarkan kepalanya pada Kenda yang senantiasa meminjamkan
bahunya sebagai penampung air mata dan kepedihan.
Hotel
All Seasons Bali Denpasar
Aska yang tampak begitu gembira dengan pertemuannya akan Kenda membuat Kelvin
yang kala itu sibuk dengan i-padnya
menaruh kecurigaan akan sahabatnya tersebut. Tiba-tiba saja, sahabatnya itu
menyanyikan lagu-lagu yang terbilang romantis dan berjingkrak-jingkrak tanpa
sebab yang jelas. Merasa ingin tahu dengan penyebab perubahan mendadak yang
dialami oleh Aska, Kelvin bergegas menghentikannya dengan menarik kedua tangan
perempuan di sampingnya lalu mendudukkan Aska di sampingnya. Dengan tatapan
curiga, Kelvin mencoba menginterogasi Aska. “Lo itu lagi kesambet setan mana
sih, Ka ? Kok, lo mendadak nyanyi-nyanyi dan jingkrak-jingkrak sendiri gitu,
sih…” tanya Kelvin ingin tahu. “Lo nggak biasanya seceria ini. Pasti, ada
sesuatu yang belum gua tahu. Please, Ka… kasih tahu gua dong…” Sembari Kelvin
memohon-mohon padanya untuk menceritakan alasannya jingkrak-jingkrak dan salah
tingkah, Aska bersiap-siap mengumpulkan kata-kata yang pas untuk berkisah.
“Oke,oke.. gue bakalan cerita sama lo…” Kelvin tak habisnya menatap perempuan
berambut panjang dengan topi kupluk di sampingnya. “Tadi siang, gue.. ketemu
sama seseorang yang kayaknya bakalan jadi takdir hidup gue..” Tak puas hanya
terduduk sambil bercerita, bergegaslah ia berdiri dari kursi dan berkisah lebih
jelas tentang pertemuannya dengan Kenda di Pantai Geger. “Secara nggak sengaja,
gue terus mengamati dia sewaktu merenung sambil melihat lautan lepas. Bagi gue,
dia itu laki-laki yang spesial. Nggak tahu kenapa… gue jadi –“
“Jadi apa, Ka ?” tanya Kelvin yang masih tampak penasaran.
“Gue jadi jatuh cinta sama dia…” sahut Aska sembari berjingkrak-jingkrak
dibalik kepiluan hati Kelvin ketika mengetahui bahwa perempuan dihadapannya
lebih memilih Kenda yang notabene baru saja dikenalnya, ketimbang menyimpan
perasaan pada seorang sahabat yang senantiasa melukiskan kegembiraan dalam
hidupnya. Seluruh usahanya untuk membuat Aska bahagia mendadak hambar karena
kisah sehari itu. “Dia itu laki-laki idaman tahu nggak sih. Matanya, kata-kata
dari mulutnya. Kayaknya, semua tentang dia itu serba sempurna di mata gue. Dan
gue nggak bisa menyangkal diri untuk mencoba membuka hati buat dia…”
“Tapi kan, lo baru aja ketemu sama dia, Ka. Mana mungkin lo bisa jatuh cinta
secepat itu?” keragu-raguan menyapa hati Kelvin yang telah sepuluh tahun lebih
menjadi sahabat setia Aska saat senang maupun sedih. Bahkan, separuh hidupnya
telah diberikan secara utuh pada Aska ketika perempuan itu membutuhkan
bantuannya. Bagi Kelvin, bisa membuka hati dan mencintai Aska adalah sebuah
anugerah yang tak terduga kejelasannya.
“Vin, lo harus tahu satu hal. Cinta nggak harus tumbuh ketika mengenal
seseorang yang begitu dekat dengan kita. Cinta juga nggak kenal waktu, tempat..
bahkan ruangan sekalipun. Mungkin aja, Kenda adalah jodoh yang udah disiapkan
Tuhan buat gue…” Melihat senyum cerah yang telah kembali dalam pelukan
perempuan dihadapannya semakin membuat Kelvin sadari bahwa cinta dan kasih
sayangnya pada Aska hanya cocok sebagai perhatian seorang sahabat, bukan
seorang kekasih.
“Kalo gitu, gua boleh ngintip foto cowok incaran lo itu, kan ?” tanya Kelvin
sembari merayu dengan terpaksa pada Aska yang mendadak berbunga-bunga dan salah
tingkah dihadapannya. “Mana mungkin sih, lo nggak mau pamerin cowok incaran lo
sama gua. Mubazir lho kalo nggak mau nunjukin…” Dengan langkah cepat, Aska
mengambil kamera SLR yang berada di tasnya, lalu menunjukkan foto-foto hasil
bidikannya pada Kelvin.
“Nah, ini laki-laki yang jadi incaran gue, Vin. Ganteng kan..?” tanya Aska
sembari menambah ukuran foto yang kini terpampang dihadapan Kelvin agar
laki-laki di sampingnya itu dapat melihat secara jelas siapakah Kenda yang
diceritakannya sejak tadi. Semakin foto itu diperbesar, Kelvin makin meyakini
hatinya bahwa ia pernah melihat sosok Kenda di suatu tempat dan dalam sebuah
perkara dimana kejadian pembunuhan ibu dari Aska berlangsung. Kala itu, Kelvin
mengetahui betul siapa laki-laki itu, bahkan keduanya sempat berpapasan.
Bersangukan pisau dengan lumuran darah di tangannya, Kelvin yang saat itu
sempat kalang kabut menyimpulkan bahwa laki-laki yang berpapasan dengannya
adalah laki-laki yang telah membunuh seseorang yang paling penting dalam
kehidupan Aska. “Lo yakin dia adalah cowok incaran lo ?” Dengan anggukan kuat,
Aska meyakinkan Kelvin bahwa perempuan dihadapannya telah menjatuhkan hati pada
seorang laki-laki yang telah membunuh ibunya. “Gua boleh kenalan sama dia ?
Ya.. sekedar untuk nambah teman aja. Kalo misalkan punya teman banyak kan enak..”
Tawaran Kelvin membuat Aska tersenyum lebar.
“Besok, kita mau ketemuan lagi di Kintamani. Lo bisa ikut sama gue kesana.
Kebetulan Kenda juga ikut, katanya sih.. minta diajarin jepret-jepret gitu…”
Kelvin mengiyakan saran yang dilayangkan oleh Aska sembari menahan diri atas
pembuktiannya bahwa Kenda adalah pembunuh dari ibu sahabatnya tersebut.
Kintamani,
22 Juni 2012
Masih bersangukan kamera SLR yang berkalung di leher, keduanya melangkahkan
kaki menuju Kintamani, salah satu kecamatan di kabupaten Bangil, Bali. Tak mau
melewatkan keindahan di tiap-tiap sudutnya, kedua manusia itu tak henti
membidik pose yang terbaik sebagai koleksi mereka. Namun, ketika Aska hampir
saja membidik salah satu panorama yang menurutnya amat menarik, sebuah tepukan
mengganggunya. Seorang laki-laki tegap berada dihadapannya dengan seutas senyum
ceria. Kelvin yang ikut merasakan kehadiran Kenda mendadak memasang raut wajah
kurang enak.
“Hai, Ken. Kamu
kelihatan seger banget pagi ini. Udah siap latihan jepret-jepret ?” Hanya
anggukan pasti yang ditunjukkan oleh Kenda. “Sebelum itu, aku mau kenalin
seseorang sama kamu..” Bergegas, Aska menarik tangan Kelvin untuk berkenalan
dengan Kenda yang saat itu langsung pucat melihat raut wajah laki-laki
dihadapannya. “Ken, ini Kelvin. Vin, ini Kenda..” Cuplikan ingatan itu muncul
dalam benak Kenda ketika kembali melihat wajah Kelvin, seseorang yang
dilihatnya dalam perkara pembunuhan itu. Kedua laki-laki itu saling berjabat
tangan.
“Ka, gua mau hunting di tempat lain. Lo disini bareng Kenda aja nggak papa, kan
?” tanya Kelvin yang masih saja memasang raut wajah suram pada Kenda. Dalam
otaknya, ia selalu menganggap bahwa Kenda adalah penjahat ulung yang tega
membunuh ibu dari Aska.
“Tenang aja. Kenda pasti bakalan nemenin gue seharian ini…” Kenda yang tampak
resah mencoba memamerkan senyum kecilnya tanpa harus memandang Kelvin yang
mungkin saja mencurigainya. “Iya kan, Ken ?” Kenda kembali mengangguk lalu
menundukkan kepalanya. Tak sanggup ia menatap Kelvin yang notabene adalah saksi
dari kejahatannya itu.
Beberapa tahap telah dilewati oleh Kenda bersama dengan Aska soal fotografi.
Kini, waktunya untuk beristirahat dan melepas lelah. Sebotol air minum yang
telah disiapkan oleh Kenda bergegas di teguk habis oleh perempuan di sampingnya.
Merasa harus bergegas ke kamar mandi akibat terlalu banyak minum, Aska
memutuskan untuk pergi dan mencari kamar kecil. Sembari menunggu Aska yang
sedang pergi ke kamar kecil, Kenda yang bertemankan sepi bergegas mendapatkan
seorang teman yang tak terduga. Kelvin mendadak berada dihadapannya dengan raut
wajah kesal.
“Kejahatan lo
nggak akan tersimpan secara aman di tangan gua…” tegas Kelvin sembari duduk di
samping Kenda yang saat itu mendadak gelisah. “Lo punya modus apa mendekati
Aska ?” Pertanyaan itu sempat membuat kenda tidak nyaman dan ingin cepat
menyahut dengan kata-kata yang pas.
“Lo itu ngomong apa sih ? Mulut lo bisa dijaga, nggak ? Gue.. nggak punya modus
apapun sama cewek itu…” sahut Kenda dengan ketus. “Lagian lo itu siapa sih ?
Bukannya, lo itu cuma sahabatnya Aska, ya. Sebagai seorang sahabat, lo nggak
boleh menghalangi kebahagiaan sahabat lo sendiri…” sambungnya.
Mendengar ucapan itu keluar dari mulut Kenda, muaklah Kelvin. Ia tidak bisa
menahan emosinya sendiri. Ditariknya kerah baju Kenda kemudian berujar dengan
kasar, “Gua.. adalah saksi konkret tragedi pembunuhan di PT. Nirwana. Dan lo
tahu apa.. Aska adalah anak dari seseorang yang elo bunuh…!” Kelvin yang makin
kesal mendorong tubuh Kenda kuat-kuat. Tak mampu ia menahan amarahnya. Kenda
yang tersungkur hanya bisa kembali tertunduk karena kebebasan dan rahasianya
tersimpan rapat di tangan Kelvin. “Lo nggak pantas jadi bagian dalam hidup Aska
tahu nggak…” Kelvin tak habisnya memberikan makian atas Kenda. “Karena lo…
adalah pembunuh ibunya Aska.. dan lo nggak pantas hidup…”
“Apa ?” seru Aska yang mendadak berdiri mematung dihadapan kedua laki-laki yang
sedang bergelut dengan kemarahan masing-masing. Perempuan itu kembali dengan
air mata yang menetes. Mendengar ucapan Kelvin bahwa ia adalah saksi konkret
dari tragedi pembunuhan yang dialami ibunya dan mengetahui kebenaran bahwa
Kenda yang disukainya adalah pembunuh dari seseorang yang dikasihinya.
“Aska, kamu jangan –“ cegah Kenda sembari mendekat ke arah Aska yang mulai
kalut.
“Stop !” gertak Aska dengan kasar. “Kamu jangan jelasin apa-apa lagi sama aku.
Sekarang, aku udah tahu siapa kamu sebenarnya…” sambungnya sembari menampar
pipi Kenda kuat-kuat dengan telapak tangannya. “Aku salah besar menjatuhkan
hati sama seseorang yang sudah menjadi pembunuh dari seorang wanita yang aku
sayangi…” Air mata itu tak berhenti menetes, hati Aska mendadak pilu. Rasanya,
ingin berlari dan berlari melupakan Kenda yang menjadi kisah sehari dalam
hidupnya. Cepat-cepat ia berlalu, berlari sekencang mungkin, menjauh dari Kenda
yang berhasil membuat hatinya meretak. Di balik kepiluan hati itu, masih ada
Kelvin yang senantiasa berlari mengejarnya, memberikan tubuhnya untuk penampung
air mata dan rasa sakit hatinya pada Kenda. “Lo perlu tahu kebenaran hati gua,
Ka…” Kelvin menarik napas, kemudian melanjutkan ucapannya. “Lo nggak perlu
kisah sehari untuk mendapatkan seseorang yang tulus mencintai lo. Yang harus lo
tahu, seseorang yang sudah menjadi teman lo belasan tahun ini nggak hanya kasih
lo kisah sehari, tapi juga bisa kasih lo kisah sepanjang masa yang terancang
manis…” lanjut Kelvin sembari mengencangkan pelukannya. “Gua siap jadi
seseorang dalam diri lo, Ka. Semua ini karena gua punya rasa cinta yang
terlampau dalam. Rasa cinta yang menembus sebuah arti persahabatan…”
FIN
Komentar
Posting Komentar